“Jika kita ingin membuang air itu, kita harus terlebih dahulu memikirkan cara untuk menghilangkan radionuklida pada air itu, jika itu memungkinkan. Sayangnya, mustahil untuk menghilangkan tritium dari air itu,” ujar Profesor David Copplestone, pakar terkemuka di bidang radioaktivitas lingkungan dari Universitas Stirling di Inggris.
LONDON, Seorang pakar industri nuklir Inggris menyerukan dilakukannya konsultasi terperinci terkait rencana pemerintah Jepang untuk melepaskan lebih dari satu juta ton air yang terkontaminasi dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang rusak ke Samudra Pasifik.
Kekhawatiran itu “harus didengarkan serta harus dipertimbangkan dan dibahas bersama mereka yang memunculkan kekhawatiran itu,” kata Profesor David Copplestone, pakar terkemuka di bidang radioaktivitas lingkungan dari Universitas Stirling di Inggris, dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Xinhua pada Selasa (10/5).
Pada April tahun lalu, pemerintah Jepang memutuskan untuk melepaskan sekitar 1,25 juta ton air limbah ke laut dalam kurun waktu 30 tahun mulai tahun 2023. Air yang terkontaminasi itu mengandung sesium, strontium, dan tritium radioaktif serta zat radioaktif lainnya.
Langkah tersebut memicu kemarahan para nelayan lokal. Partai-partai oposisi, termasuk Partai Demokrat Konstitusional (Constitutional Democratic Party/CDP) Jepang, juga mengecam rencana itu dan menuntut penarikannya.
“Ada sejumlah dampak terhadap industri perikanan yang berkaitan dengan insiden yang terjadi pada 2011,” tutur Copplestone, yang telah mengunjungi Fukushima dan melakukan penelitian ekstensif di seluruh dunia bersama Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA).
Menurutnya, “ada dampak reputasional, sosial, dan ekonomi yang muncul sebagian besar karena, sering kali, orang-orang menjadi takut mengonsumsi ikan dari area-area yang mungkin terkontaminasi.”
Pada 11 Maret 2011, gempa bermagnitudo 9,0 mengguncang pesisir Prefektur Fukushima di Jepang. Gelombang tsunami yang menyusul gempa itu menghantam PLTN Fukushima Daiichi, menyebabkan kerusakan inti di tiga unitnya dan memicu krisis nuklir terburuk sejak Chernobyl.
Sebelas tahun pascabencana ini, dampak dari kerusakan itu dan sejumlah besar air yang terkontaminasi masih terus membuat pusing Jepang dan seluruh dunia.
Jepang mengklaim bahwa air yang terkontaminasi itu dapat diencerkan dan dibuang, namun sejumlah aktivis lingkungan lokal dan internasional mengatakan bahwa klaim tersebut telah berulang kali terbukti salah karena peralatan pemurnian tidak dapat mengeliminasi sepenuhnya material radioaktif.
“Salah satu kekhawatiran utama di sini adalah keberadaan tritium, yang merupakan elemen hidrogen yang bersifat radioaktif sebagai isotop. Sangat sulit untuk memisahkannya dari air yang terkontaminasi,” papar Copplestone.
“Jika kita ingin membuang air itu, kita harus terlebih dahulu memikirkan cara untuk menghilangkan radionuklida pada air itu, jika itu memungkinkan. Sayangnya, mustahil untuk menghilangkan tritium dari air itu,” katanya.
Menurut Copplestone, “ini soal melakukan dialog yang sangat terbuka untuk mengedukasi masyarakat tentang konsekuensi dari rencana pelepasan itu.”
“Sangat penting bagi pemerintah Jepang untuk terlibat dalam dialog dengan pihak-pihak yang mengemukakan kekhawatiran mereka, dan mendengarkan kekhawatiran itu,” tuturnya. [Xinhua]