JENEWA – Para ahli dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Senin (11/10) merekomendasikan bahwa dosis penguat (booster) vaksin COVID-19 harus ditawarkan kepada orang-orang dengan gangguan sistem kekebalan (immunocompromised) sedang dan parah.
Setelah pembicaraan selama empat hari pada pekan lalu, Kelompok Penasihat Strategis Ahli tentang Imunisasi WHO atau SAGE merekomendasikan bahwa orang-orang seperti itu harus mendapatkan dosis ketiga dari salah satu vaksin yang masuk dalam Daftar Penggunaan Darurat (Emergency Use Listing/EUL) WHO. Pasalnya, mereka “kecil kemungkinannya akan menunjukkan respons yang memadai terhadap vaksinasi setelah pemberian serangkaian vaksin primer standar dan berisiko tinggi terkena penyakit COVID-19 yang parah.”
Sejak akhir September, beberapa vaksin COVID-19 telah mendapat sertifikasi EUL WHO, termasuk Pfizer-BioNTech, Janssen, Moderna, Sinopharm, Sinovac, AstraZeneca, dan Covishield. SAGE mengatakan mereka juga telah meninjau COVAXIN, yang dibuat oleh perusahaan India Bharat Biotech, dan rekomendasi kebijakan akan dikeluarkan setelah vaksin itu disetujui oleh EUL WHO.
Dosis ketiga vaksin virus nonaktif Sinovac dan Sinopharm juga seharusnya ditawarkan kepada mereka yang berusia di atas 60 tahun, kata para pakar WHO. Sementara itu, penggunaan vaksin heterolog (atau virus hidup) untuk dosis tambahan juga dapat dipertimbangkan berdasarkan pertimbangan pasokan dan akses vaksin.
“Ketika menerapkan rekomendasi ini, negara pada awalnya harus bertujuan untuk memaksimalkan cakupan dua dosis pada populasi tersebut, dan setelah itu memberikan dosis ketiga, dimulai dari kelompok usia tertua,” kata SAGE.
WHO sebelumnya telah menyerukan moratorium global pada dosis booster COVID-19, yang bertujuan untuk mewujudkan pendistribusian vaksin yang lebih adil secara global demi memungkinkan setiap negara memvaksinasi setidaknya 40 persen dari populasinya.
Pekan lalu, WHO mengumumkan inisiatif untuk memvaksinasi 40 persen populasi setiap negara dengan vaksin COVID-19 per akhir 2021, dan 70 persen pada pertengahan 2022. Upaya ini akan memprioritaskan pengiriman vaksin ke negara-negara berpenghasilan rendah, terutama di Afrika. [Xinhua]