GUANGZHOU, Tim peneliti China menemukan bahwa kebijakan intervensi dini dan ketat dapat lebih efektif dalam meredam penyebaran COVID-19.
Sebuah tim yang dipimpin oleh ahli epidemiologi kenamaan asal China Zhong Nanshan dan Jarvis Lab, fasilitas kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) medis di bawah raksasa teknologi China Tencent, menggunakan data kebijakan dari 145 negara dari paruh pertama 2020. Dengan data tersebut, tim itu membangun sebuah model untuk menilai apa yang akan terjadi jika kebijakan intervensi tidak diterapkan.
Hasilnya menunjukkan bahwa semua intervensi secara signifikan menurunkan Rt setelah implementasi kebijakan tersebut. Rt (jumlah reproduksi yang berubah terhadap waktu) merupakan jumlah infeksi sekunder yang dihasilkan oleh infeksi tunggal.
Sebagian besar intervensi memiliki efek, menurunkan Rt sekitar 7 hingga 14 hari setelah implementasi. Efeknya kian meningkat hingga penurunan maksimum sekitar 30 persen untuk Rt dalam 25 hingga 32 hari. Di antara berbagai kebijakan intervensi, penutupan sekolah, penutupan tempat kerja, dan pembatalan acara publik menunjukkan efek yang paling kuat.
Para peneliti mengungkapkan bahwa kebijakan intervensi yang lebih lama dan lebih ketat bersifat lebih efektif pada tahap awal wabah. Sementara itu, terdapat lebih banyak kasus terinfeksi ketika kebijakan intervensi diterapkan pada tahap tengah dan akhir.
Ini bukanlah kegagalan pengendalian epidemi. Itu karena tindakan tegas baru dirumuskan saat epidemi memasuki tahap pertumbuhan yang cepat, ungkap Sun Jichao dari Tencent Jarvis Lab yang juga merupakan penulis utama dalam penelitian tersebut. Dia menuturkan bahwa intervensi akan sedikit membantu di tahap tengah dan akhir wabah COVID-19.
Studi ini telah diterbitkan dalam jurnal Value in Health. [Xinhua]