BEIJING, Kantor Urusan Taiwan Dewan Negara dan Kantor Informasi Dewan Negara Republik Rakyat China pada Rabu (10/8) menerbitkan sebuah buku putih berjudul “The Taiwan Question and China’s Reunification in the New Era” (Masalah Taiwan dan Reunifikasi China di Era Baru).
Berikut adalah teks lengkap buku putih tersebut:
Masalah Taiwan dan Reunifikasi China di Era Baru
Republik Rakyat China
Kantor Urusan Taiwan Dewan Negara dan Kantor Informasi Dewan Negara
Agustus 2022
Daftar Isi
Kata Pengantar
I. Taiwan Adalah Bagian dari China – Fakta yang Tak Terbantahkan
II. Upaya Teguh CPC untuk Mewujudkan Reunifikasi China Sepenuhnya
III. Reunifikasi China Sepenuhnya Adalah Proses yang Tidak Dapat Dihentikan
IV. Reunifikasi Nasional di Era Baru
V. Prospek Cerah untuk Reunifikasi Damai
Kesimpulan
Kata Pengantar
Menyelesaikan masalah Taiwan dan mewujudkan reunifikasi China sepenuhnya adalah aspirasi bersama semua putra-putri bangsa China. Ini harus dilakukan demi mewujudkan peremajaan China. Ini juga menjadi misi bersejarah bagi Partai Komunis China (Communist Party of China/CPC). CPC, pemerintah China, dan seluruh rakyat China telah berjuang keras selama puluhan tahun untuk mencapai tujuan tersebut.
Kongres Nasional CPC ke-18 pada 2012 menyerukan dimulainya era baru dalam membangun sosialisme dengan karakteristik China. Di bawah kepemimpinan kuat Komite Sentral CPC dengan Xi Jinping sebagai intinya, CPC dan pemerintah China menerapkan kebijakan baru dan inovatif terkait Taiwan. Mereka terus memetakan jalur hubungan lintas Selat, menjaga perdamaian dan stabilitas di seluruh Selat Taiwan, serta mendorong kemajuan ke arah reunifikasi nasional. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, otoritas Taiwan yang dipimpin oleh Partai Progresif Demokratik (Democratic Progressive Party/DPP) melipatgandakan upaya mereka untuk memecah-belah negara, dan beberapa kekuatan eksternal mencoba mengeksploitasi Taiwan guna mengekang China, mencegah bangsa China mencapai reunifikasi sepenuhnya, serta menghentikan proses peremajaan nasional.
CPC menyatukan rakyat China dan memimpin mereka dalam memenuhi Target Abad Pertama, yakni membangun masyarakat yang cukup sejahtera dalam segala bidang sesuai jadwal, serta dalam memulai perjalanan baru menuju Target Abad Kedua, yakni membangun China menjadi negara sosialis modern.
Bangsa China mencapai transformasi bersejarah dari berdiri tegak menjadi sejahtera dan tumbuh dalam kekuatan, dan peremajaan nasional didorong oleh kekuatan yang tidak terhentikan. Hal ini menandai titik awal baru untuk reunifikasi.
Sebelumnya, pemerintah China menerbitkan dua buku putih terkait Taiwan. Yang pertama berjudul “Taiwan Question and Reunification of China” (Masalah Taiwan dan Reunifikasi China) pada Agustus 1993, dan yang kedua berjudul “The One-China Principle and the Taiwan Issue” (Prinsip Satu China dan Masalah Taiwan) pada Februari 2000. Kedua buku putih tersebut memberikan penjelasan yang komprehensif dan sistematis tentang prinsip-prinsip dasar dan kebijakan terkait penyelesaian masalah Taiwan. Buku putih terbaru kali ini dirilis untuk menekankan kembali fakta bahwa Taiwan adalah bagian dari China, menunjukkan tekad CPC dan rakyat China maupun komitmen mereka terhadap reunifikasi nasional, serta mempertegas posisi dan kebijakan CPC maupun pemerintah China di era baru.
I. Taiwan Adalah Bagian dari China – Fakta yang Tak Terbantahkan
Taiwan menjadi milik China sejak zaman kuno. Pernyataan ini memiliki dasar kuat dalam sejarah dan yurisprudensi. Temuan riset dan penemuan arkeologi baru dari waktu ke waktu membuktikan hubungan historis dan budaya yang mendalam antara kedua sisi Selat Taiwan tersebut. Banyak sekali catatan dan dokumen sejarah mendokumentasikan pembangunan Taiwan oleh bangsa China pada periode-periode awal.
Referensi paling awal tentang hal ini dapat ditemukan, antara lain, di Seaboard Geographic Gazetteer yang disusun pada 230 M oleh Shen Ying dari Negara Wu selama Periode Tiga Kerajaan. Kerajaan Dinasti Sui pada tiga kesempatan berbeda pernah mengirim pasukan ke Taiwan, yang pada saat itu disebut Liuqiu. Mulai era Dinasti Song dan Dinasti Yuan, semua pemerintah pusat kekaisaran China membentuk badan-badan administratif untuk menjalankan yurisdiksi atas Penghu dan Taiwan.
Pada 1624, penjajah Belanda menginvasi dan menduduki Taiwan bagian selatan. Pada 1662, Jenderal Zheng Chenggong, seorang pahlawan nasional, memimpin ekspedisi dan mengusir penjajah Belanda dari pulau itu. Selanjutnya, kerajaan Qing secara bertahap mendirikan lebih banyak badan administratif di Taiwan. Pada 1684, pemerintahan prefektur Taiwan didirikan di bawah yurisdiksi Provinsi Fujian. Pada 1885, status Taiwan ditingkatkan dan menjadi provinsi ke-20 China.
Pada Juli 1894, Jepang meluncurkan perang agresi terhadap China. Pada April 1895, pemerintahan Qing yang kalah terpaksa menyerahkan Taiwan dan Kepulauan Penghu kepada Jepang. Selama Perang Perlawanan Rakyat China Melawan Agresi Jepang (1931-1945), Komunis China menyerukan perebutan kembali Taiwan. Saat berbicara dengan jurnalis Amerika Nym Wales pada 15 Mei 1937, Mao Zedong mengatakan bahwa target China adalah mencapai kemenangan akhir dalam perang tersebut, sebuah kemenangan yang akan mendapatkan kembali wilayah-wilayah China yang diduduki di China Timur Laut hingga ke selatan Shanhai Pass, serta memastikan pembebasan Taiwan.
Pada 9 Desember 1941, pemerintah China mengeluarkan deklarasi perang melawan Jepang dan menyatakan bahwa semua traktat, konvensi, perjanjian, dan kontrak terkait hubungan antara China dan Jepang telah dicabut, serta bahwa China akan mendapatkan kembali Taiwan dan Kepulauan Penghu.
Deklarasi Kairo yang dikeluarkan oleh China, Amerika Serikat (AS), dan Inggris pada 1 Desember 1943 menyatakan bahwa tujuan ketiga sekutu tersebut adalah semua wilayah yang dicuri Jepang dari China, seperti China Timur Laut, Taiwan, dan Kepulauan Penghu, harus dikembalikan ke China.
Deklarasi Potsdam ditandatangani oleh China, AS, dan Inggris pada 26 Juli 1945, dan kemudian diakui oleh Uni Soviet. Deklarasi tersebut menegaskan kembali: “Ketentuan Deklarasi Kairo harus dilaksanakan.” Pada September di tahun yang sama, Jepang menandatangani instrumen penyerahan diri, di mana di dalamnya Jepang berjanji akan setia memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam Deklarasi Potsdam. Pada 25 Oktober, pemerintah China mengumumkan bahwa mereka melanjutkan pelaksanaan kedaulatan atas Taiwan, dan upacara untuk menerima penyerahan diri Jepang di Provinsi Taiwan, yang merupakan medan perang pasukan Sekutu di China, dilakukan di Taibei (Taipei). Sejak saat itu, China kembali mendapatkan Taiwan secara de juredan de factomelalui sejumlah dokumen dengan efek hukum internasional.
Pada 1 Oktober 1949, Republik Rakyat China (RRC) didirikan, menjadi penerus Republik China (1912-1949), dan Pemerintah Rakyat Pusat menjadi satu-satunya pemerintahan yang sah di seluruh China. Pemerintahan baru ini menggantikan rezim Kuomintang (KMT) sebelumnya dalam situasi di mana China, sebagai subjek di bawah hukum internasional, tidak berubah dan kedaulatan China serta wilayah yang melekat padanya tidak berubah. Oleh karena itu, pemerintahan RRC haruslah memiliki dan menjalankan kedaulatan penuh China, yang termasuk kedaulatannya atas Taiwan.
Sebagai akibat dari perang saudara di China pada akhir 1940-an dan campur tangan kekuatan eksternal, kedua sisi Selat Taiwan terjebak dalam konfrontasi politik yang berkepanjangan. Namun, kedaulatan dan wilayah China tidak pernah terpecah dan tidak akan pernah terpecah, dan status Taiwan sebagai bagian dari wilayah China tidak pernah berubah dan tidak akan pernah dibiarkan berubah.
Dalam sesi ke-26 pada Oktober 1971, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Resolusi 2758, yang berupaya “memulihkan seluruh hak kepada Republik Rakyat China dan mengakui perwakilan Pemerintahannya sebagai satu-satunya perwakilan sah China di PBB, dan untuk segera mengeluarkan perwakilan Chiang Kai-shek dari posisi yang mereka tempati secara tidak sah di PBB dan di seluruh organisasi yang terkait dengannya.” Resolusi ini diselesaikan sekali dan untuk semua masalah politik, hukum, dan prosedural perwakilan China di PBB, dan mencakup seluruh negeri, termasuk Taiwan. Disebutkan juga bahwa China memiliki satu kursi di PBB, sehingga tidak ada apa yang disebut “dua China” atau “satu China, satu Taiwan”.
Badan-badan khusus PBB kemudian mengadopsi resolusi lanjutan yang mengembalikan RRC ke kursinya yang sah dan mengeluarkan perwakilan otoritas Taiwan. Salah satunya adalah Resolusi 25.1 yang diadopsi pada Majelis Kesehatan Dunia ke-25 pada Mei 1972. Dinyatakan secara jelas dalam pendapat hukum resmi Kantor Urusan Hukum Sekretariat PBB bahwa “PBB menganggap ‘Taiwan’ sebagai sebuah provinsi di China tanpa status terpisah”, dan “‘otoritas’ di ‘Taipei’ tidak dianggap … memiliki bentuk status pemerintahan apa pun”. Di PBB, pulau ini disebut sebagai “Taiwan, Provinsi di China”[1].
Resolusi 2758 merupakan sebuah dokumen politik yang merangkum prinsip Satu China yang otoritas hukumnya tidak diragukan lagi dan telah diakui di seluruh dunia. Taiwan tidak memiliki dasar, alasan, atau hak untuk bergabung dengan PBB, atau organisasi internasional lainnya yang keanggotaannya terbatas pada negara-negara berdaulat.
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa elemen di sebagian kecil negara, terutama AS di dalamnya, berkolusi dengan kekuatan di Taiwan, untuk mengeklaim secara keliru bahwa resolusi tersebut tidak menyelesaikan masalah perwakilan Taiwan secara menyeluruh. Mengangkat Perjanjian San Francisco yang ilegal dan tidak sah [2] kemudian mengabaikan Deklarasi Kairo, Deklarasi Potsdam, dan dokumen-dokumen hukum internasional lainnya, mereka menyatakan bahwa status Taiwan belum ditentukan, dan menyatakan dukungan mereka untuk “partisipasi berarti Taiwan dalam sistem PBB”. Apa yang sebenarnya mereka coba lakukan adalah mengubah status Taiwan sebagai bagian dari China dan menciptakan “dua China” atau “satu China, satu Taiwan” sebagai bagian dari taktik politik, yaitu menggunakan Taiwan untuk mengekang China. Tindakan yang melanggar Resolusi 2758 dan hukum internasional ini merupakan pelanggaran serius terhadap komitmen politik yang dibuat oleh negara-negara tersebut. Mereka merusak kedaulatan dan martabat China, dan memperlakukan prinsip-prinsip dasar hukum internasional dengan penghinaan. Pemerintah China mengutuk dan menyatakan penolakan tegasnya terhadap mereka.
Prinsip Satu China mewakili konsensus universal masyarakat internasional. Hal itu konsisten dengan norma-norma dasar hubungan internasional. Hingga saat ini, 181 negara termasuk AS menjalin hubungan diplomatik dengan RRC berdasarkan prinsip Satu China. Komunike Bersama China-AS tentang Pembentukan Hubungan Diplomatik, yang dikeluarkan pada Desember 1978, menyatakan: “Pemerintah Amerika Serikat mengakui posisi China bahwa hanya ada satu China dan Taiwan adalah bagian dari China.” Komunike tersebut juga menyatakan: “Amerika Serikat mengakui Pemerintah Republik Rakyat China sebagai satu-satunya Pemerintah China yang sah. Dalam konteks ini, masyarakat Amerika Serikat akan memelihara hubungan budaya, perdagangan, dan hubungan tidak resmi lainnya dengan masyarakat Taiwan.”
Konstitusi Republik Rakyat China, yang diadopsi dalam Sesi Kelima Kongres Rakyat Nasional (National People’s Congress/NPC) Kelima pada Desember 1982, menetapkan: “Taiwan adalah bagian dari teritori suci Republik Rakyat China. Adalah tugas yang tidak dapat diganggu gugat bagi seluruh rakyat China, termasuk kompatriot kami di Taiwan, untuk menyelesaikan tugas besar menyatukan kembali tanah air.”
Undang-Undang (UU) Antipemisahan, yang diadopsi pada Sesi Ketiga NPC ke-10 pada Maret 2005, menetapkan: “Hanya ada satu China di dunia. Baik China Daratan maupun Taiwan adalah sama-sama bagian dari Satu China. Kedaulatan dan integritas teritorial China tidak dapat dipisahkan. Menjaga kedaulatan dan integritas teritorial China merupakan kewajiban bersama semua rakyat China, termasuk kompatriot Taiwan. Taiwan adalah bagian dari China. China tidak akan pernah membiarkan kekuatan separatis ‘kemerdekaan Taiwan’ membuat Taiwan memisahkan diri dari China, baik dengan nama apa pun atau dengan cara apa pun.”
UU Keamanan Nasional, yang diadopsi pada pertemuan ke-15 Komite Tetap NPC ke-12 pada Juli 2015, menetapkan: “Kedaulatan dan integritas teritorial China tidak akan membiarkan pelanggaran atau pemisahan. Menjaga kedaulatan, persatuan, dan integritas teritorial nasional merupakan tugas bersama dari semua warga negara China, termasuk kompatriot Hong Kong, Makau, dan Taiwan.”
Kita adalah satu China, dan Taiwan merupakan bagian dari China. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan yang didukung oleh sejarah dan hukum. Taiwan tidak pernah menjadi negara; statusnya sebagai bagian dari China tidak dapat diubah. Setiap upaya untuk memutarbalikkan fakta-fakta ini dan membantah atau menyangkal prinsip Satu China akan berakhir dengan kegagalan.
II. Upaya Teguh CPC untuk Mewujudkan Reunifikasi China Sepenuhnya
CPC selalu berdedikasi untuk bekerja demi kesejahteraan rakyat China dan peremajaan bangsa China. Segera setelah didirikan pada 1921, CPC menetapkan tujuan untuk membebaskan Taiwan dari aturan kolonial, menyatukannya kembali dengan seluruh wilayah China dan membebaskan seluruh bangsa, termasuk kompatriot di Taiwan. Hal itu menghasilkan sebuah upaya yang luar biasa untuk mencapai tujuan ini.
CPC berkomitmen pada misi bersejarah untuk menyelesaikan masalah Taiwan dan mewujudkan reunifikasi penuh China. Di bawah kepemimpinannya yang teguh, masyarakat di kedua sisi Selat Taiwan bekerja sama untuk mengurangi ketegangan di seluruh Selat tersebut. Mereka menempuh jalan pembangunan yang damai dan membuat banyak terobosan dalam meningkatkan hubungan lintas Selat.
Setelah berdirinya RRC pada 1949, Komunis China, di bawah kepemimpinan Mao Zedong, mengusulkan pedoman penting, prinsip dasar, dan kebijakan dasar untuk penyelesaian damai masalah Taiwan. CPC mempersiapkan dan bekerja untuk pembebasan Taiwan, menggagalkan rencana otoritas Taiwan untuk menyerang China Daratan, dan menggagalkan berbagai upaya untuk menciptakan “dua China” dan “satu China, satu Taiwan”. Melalui upaya-upaya mereka, kedudukan dan hak RRC yang sah di Perserikatan Bangsa-Bangsa telah dipulihkan dan prinsip Satu China juga dianut oleh sebagian besar negara, meletakkan dasar penting bagi reunifikasi damai. Kepemimpinan pusat CPC menjalin kontak tingkat tinggi dengan otoritas Taiwan melalui saluran yang tepat dalam mencari solusi damai untuk masalah Taiwan.
Setelah Sidang Pleno Ketiga Komite Sentral CPC ke-11 yang digelar pada 1978, dengan pembentukan hubungan diplomatik antara RRC dan Amerika Serikat, Komunis China, yang dipimpin oleh Deng Xiaoping, menetapkan pedoman dasar untuk reunifikasi damai dalam kepentingan vital China dan rakyatnya, serta atas dasar konsensus untuk penyelesaian damai masalah Taiwan. CPC memperkenalkan konsep Satu Negara, Dua Sistem yang kreatif dan disusun dengan baik, serta menerapkannya terlebih dahulu dalam menyelesaikan masalah terkait Hong Kong dan Makau. Prinsip itu digunakan untuk meredakan konfrontasi militer di Selat Taiwan, memulihkan kontak, dan membuka pertukaran serta kerja sama antarmasyarakat, yang membuka babak baru dalam hubungan lintas Selat.
Setelah Sidang Pleno Keempat Komite Sentral CPC ke-13 yang digelar pada 1989, Komunis China, yang dipimpin oleh Jiang Zemin, membuat delapan proposal untuk pengembangan hubungan lintas Selat dan penyatuan kembali China secara damai[3]. CPC memfasilitasi kesepakatan di seluruh Selat tersebut pada Konsensus 1992, yang mewujudkan prinsip Satu China. Hal itu memprakarsai konsultasi dan negosiasi lintas Selat, yang menghasilkan pembicaraan pertama antara kepala-kepala organisasi nonpemerintah yang diotorisasi oleh kedua sisi Selat, dan memperluas pertukaran serta kerja sama lintas Selat di berbagai bidang. CPC mengambil tindakan tegas terhadap kegiatan separatis yang dipimpin oleh Lee Teng-hui, dan mengecam keras kekuatan separatis yang mengupayakan “kemerdekaan Taiwan”. Hal tersebut memastikan kelancaran pengembalian Hong Kong dan Makau ke pangkuan China, dan menerapkan kebijakan Satu Negara, Dua Sistem, yang memiliki dampak konstruktif pada penyelesaian masalah Taiwan.
Setelah Kongres Nasional CPC ke-16 yang digelar pada 2002, Komunis China, yang dipimpin oleh Hu Jintao, menyoroti pentingnya pengembangan hubungan lintas Selat secara damai. CPC mendorong diberlakukannya UU Antipemisahan untuk mengekang kegiatan separatis di Taiwan, menjadi tuan rumah pembicaraan pertama antara para pemimpin CPC dan Kuomintang dalam enam dekade sejak 1945, serta mengalahkan upaya-upaya oleh Chen Shui-bian dalam mengarang dasar hukum untuk “kemerdekaan”. CPC juga melakukan perubahan besar dalam memajukan perkembangan damai hubungan lintas Selat dengan mempromosikan konsultasi dan negosiasi yang dilembagakan yang membuahkan hasil bermanfaat, membangun hubungan dua arah langsung secara keseluruhan dalam surat, bisnis dan transportasi, serta memfasilitasi penandatanganan dan pelaksanaan Perjanjian Kerangka Kerja Sama Ekonomi.
Setelah Kongres Nasional CPC ke-18 yang digelar pada 2012, Komunis China, di bawah kepemimpinan Xi Jinping, mengambil pendekatan holistik untuk hubungan lintas Selat sesuai dengan keadaan yang tengah berubah, menambahkan substansi pada teori reunifikasi nasional dan prinsip-prinsip serta kebijakan terkait Taiwan, dan bekerja untuk menjaga hubungan lintas Selat di jalur yang benar. CPC mengembangkan kebijakan keseluruhannya untuk menyelesaikan masalah Taiwan di era baru, dan menetapkan pedoman menyeluruh serta sebuah program aksi.
Pada Kongres Nasional ke-19 yang digelar pada Oktober 2017, CPC menegaskan kebijakan dasar yang menegakkan Satu Negara, Dua Sistem dan mempromosikan reunifikasi nasional, serta menekankan tekadnya untuk tidak pernah mengizinkan siapa pun, organisasi apa pun, atau partai politik mana pun, kapan pun atau dalam bentuk apa pun, untuk memisahkan bagian wilayah China mana pun dari China.
BEIJING, Kantor Urusan Taiwan Dewan Negara dan Kantor Informasi Dewan Negara Republik Rakyat China pada Rabu (10/8) menerbitkan sebuah buku putih berjudul “The Taiwan Question and China’s Reunification in the New Era” (Masalah Taiwan dan Reunifikasi China di Era Baru).
Berikut adalah teks lengkap buku putih tersebut:
Masalah Taiwan dan Reunifikasi China di Era Baru
Republik Rakyat China
Kantor Urusan Taiwan Dewan Negara dan Kantor Informasi Dewan Negara
Agustus 2022
Daftar Isi
Kata Pengantar
I. Taiwan Adalah Bagian dari China – Fakta yang Tak Terbantahkan
II. Upaya Teguh CPC untuk Mewujudkan Reunifikasi China Sepenuhnya
III. Reunifikasi China Sepenuhnya Adalah Proses yang Tidak Dapat Dihentikan
IV. Reunifikasi Nasional di Era Baru
V. Prospek Cerah untuk Reunifikasi Damai
Kesimpulan
Kata Pengantar
Menyelesaikan masalah Taiwan dan mewujudkan reunifikasi China sepenuhnya adalah aspirasi bersama semua putra-putri bangsa China. Ini harus dilakukan demi mewujudkan peremajaan China. Ini juga menjadi misi bersejarah bagi Partai Komunis China (Communist Party of China/CPC). CPC, pemerintah China, dan seluruh rakyat China telah berjuang keras selama puluhan tahun untuk mencapai tujuan tersebut.
Kongres Nasional CPC ke-18 pada 2012 menyerukan dimulainya era baru dalam membangun sosialisme dengan karakteristik China. Di bawah kepemimpinan kuat Komite Sentral CPC dengan Xi Jinping sebagai intinya, CPC dan pemerintah China menerapkan kebijakan baru dan inovatif terkait Taiwan. Mereka terus memetakan jalur hubungan lintas Selat, menjaga perdamaian dan stabilitas di seluruh Selat Taiwan, serta mendorong kemajuan ke arah reunifikasi nasional. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, otoritas Taiwan yang dipimpin oleh Partai Progresif Demokratik (Democratic Progressive Party/DPP) melipatgandakan upaya mereka untuk memecah-belah negara, dan beberapa kekuatan eksternal mencoba mengeksploitasi Taiwan guna mengekang China, mencegah bangsa China mencapai reunifikasi sepenuhnya, serta menghentikan proses peremajaan nasional.
CPC menyatukan rakyat China dan memimpin mereka dalam memenuhi Target Abad Pertama, yakni membangun masyarakat yang cukup sejahtera dalam segala bidang sesuai jadwal, serta dalam memulai perjalanan baru menuju Target Abad Kedua, yakni membangun China menjadi negara sosialis modern.
Bangsa China mencapai transformasi bersejarah dari berdiri tegak menjadi sejahtera dan tumbuh dalam kekuatan, dan peremajaan nasional didorong oleh kekuatan yang tidak terhentikan. Hal ini menandai titik awal baru untuk reunifikasi.
Sebelumnya, pemerintah China menerbitkan dua buku putih terkait Taiwan. Yang pertama berjudul “Taiwan Question and Reunification of China” (Masalah Taiwan dan Reunifikasi China) pada Agustus 1993, dan yang kedua berjudul “The One-China Principle and the Taiwan Issue” (Prinsip Satu China dan Masalah Taiwan) pada Februari 2000. Kedua buku putih tersebut memberikan penjelasan yang komprehensif dan sistematis tentang prinsip-prinsip dasar dan kebijakan terkait penyelesaian masalah Taiwan. Buku putih terbaru kali ini dirilis untuk menekankan kembali fakta bahwa Taiwan adalah bagian dari China, menunjukkan tekad CPC dan rakyat China maupun komitmen mereka terhadap reunifikasi nasional, serta mempertegas posisi dan kebijakan CPC maupun pemerintah China di era baru.
I. Taiwan Adalah Bagian dari China – Fakta yang Tak Terbantahkan
Taiwan menjadi milik China sejak zaman kuno. Pernyataan ini memiliki dasar kuat dalam sejarah dan yurisprudensi. Temuan riset dan penemuan arkeologi baru dari waktu ke waktu membuktikan hubungan historis dan budaya yang mendalam antara kedua sisi Selat Taiwan tersebut. Banyak sekali catatan dan dokumen sejarah mendokumentasikan pembangunan Taiwan oleh bangsa China pada periode-periode awal.
Referensi paling awal tentang hal ini dapat ditemukan, antara lain, di Seaboard Geographic Gazetteer yang disusun pada 230 M oleh Shen Ying dari Negara Wu selama Periode Tiga Kerajaan. Kerajaan Dinasti Sui pada tiga kesempatan berbeda pernah mengirim pasukan ke Taiwan, yang pada saat itu disebut Liuqiu. Mulai era Dinasti Song dan Dinasti Yuan, semua pemerintah pusat kekaisaran China membentuk badan-badan administratif untuk menjalankan yurisdiksi atas Penghu dan Taiwan.
Pada 1624, penjajah Belanda menginvasi dan menduduki Taiwan bagian selatan. Pada 1662, Jenderal Zheng Chenggong, seorang pahlawan nasional, memimpin ekspedisi dan mengusir penjajah Belanda dari pulau itu. Selanjutnya, kerajaan Qing secara bertahap mendirikan lebih banyak badan administratif di Taiwan. Pada 1684, pemerintahan prefektur Taiwan didirikan di bawah yurisdiksi Provinsi Fujian. Pada 1885, status Taiwan ditingkatkan dan menjadi provinsi ke-20 China.
Pada Juli 1894, Jepang meluncurkan perang agresi terhadap China. Pada April 1895, pemerintahan Qing yang kalah terpaksa menyerahkan Taiwan dan Kepulauan Penghu kepada Jepang. Selama Perang Perlawanan Rakyat China Melawan Agresi Jepang (1931-1945), Komunis China menyerukan perebutan kembali Taiwan. Saat berbicara dengan jurnalis Amerika Nym Wales pada 15 Mei 1937, Mao Zedong mengatakan bahwa target China adalah mencapai kemenangan akhir dalam perang tersebut, sebuah kemenangan yang akan mendapatkan kembali wilayah-wilayah China yang diduduki di China Timur Laut hingga ke selatan Shanhai Pass, serta memastikan pembebasan Taiwan.
Pada 9 Desember 1941, pemerintah China mengeluarkan deklarasi perang melawan Jepang dan menyatakan bahwa semua traktat, konvensi, perjanjian, dan kontrak terkait hubungan antara China dan Jepang telah dicabut, serta bahwa China akan mendapatkan kembali Taiwan dan Kepulauan Penghu.
Deklarasi Kairo yang dikeluarkan oleh China, Amerika Serikat (AS), dan Inggris pada 1 Desember 1943 menyatakan bahwa tujuan ketiga sekutu tersebut adalah semua wilayah yang dicuri Jepang dari China, seperti China Timur Laut, Taiwan, dan Kepulauan Penghu, harus dikembalikan ke China.
Deklarasi Potsdam ditandatangani oleh China, AS, dan Inggris pada 26 Juli 1945, dan kemudian diakui oleh Uni Soviet. Deklarasi tersebut menegaskan kembali: “Ketentuan Deklarasi Kairo harus dilaksanakan.” Pada September di tahun yang sama, Jepang menandatangani instrumen penyerahan diri, di mana di dalamnya Jepang berjanji akan setia memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam Deklarasi Potsdam. Pada 25 Oktober, pemerintah China mengumumkan bahwa mereka melanjutkan pelaksanaan kedaulatan atas Taiwan, dan upacara untuk menerima penyerahan diri Jepang di Provinsi Taiwan, yang merupakan medan perang pasukan Sekutu di China, dilakukan di Taibei (Taipei). Sejak saat itu, China kembali mendapatkan Taiwan secara de juredan de factomelalui sejumlah dokumen dengan efek hukum internasional.
Pada 1 Oktober 1949, Republik Rakyat China (RRC) didirikan, menjadi penerus Republik China (1912-1949), dan Pemerintah Rakyat Pusat menjadi satu-satunya pemerintahan yang sah di seluruh China. Pemerintahan baru ini menggantikan rezim Kuomintang (KMT) sebelumnya dalam situasi di mana China, sebagai subjek di bawah hukum internasional, tidak berubah dan kedaulatan China serta wilayah yang melekat padanya tidak berubah. Oleh karena itu, pemerintahan RRC haruslah memiliki dan menjalankan kedaulatan penuh China, yang termasuk kedaulatannya atas Taiwan.
Sebagai akibat dari perang saudara di China pada akhir 1940-an dan campur tangan kekuatan eksternal, kedua sisi Selat Taiwan terjebak dalam konfrontasi politik yang berkepanjangan. Namun, kedaulatan dan wilayah China tidak pernah terpecah dan tidak akan pernah terpecah, dan status Taiwan sebagai bagian dari wilayah China tidak pernah berubah dan tidak akan pernah dibiarkan berubah.
Dalam sesi ke-26 pada Oktober 1971, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Resolusi 2758, yang berupaya “memulihkan seluruh hak kepada Republik Rakyat China dan mengakui perwakilan Pemerintahannya sebagai satu-satunya perwakilan sah China di PBB, dan untuk segera mengeluarkan perwakilan Chiang Kai-shek dari posisi yang mereka tempati secara tidak sah di PBB dan di seluruh organisasi yang terkait dengannya.” Resolusi ini diselesaikan sekali dan untuk semua masalah politik, hukum, dan prosedural perwakilan China di PBB, dan mencakup seluruh negeri, termasuk Taiwan. Disebutkan juga bahwa China memiliki satu kursi di PBB, sehingga tidak ada apa yang disebut “dua China” atau “satu China, satu Taiwan”.
Badan-badan khusus PBB kemudian mengadopsi resolusi lanjutan yang mengembalikan RRC ke kursinya yang sah dan mengeluarkan perwakilan otoritas Taiwan. Salah satunya adalah Resolusi 25.1 yang diadopsi pada Majelis Kesehatan Dunia ke-25 pada Mei 1972. Dinyatakan secara jelas dalam pendapat hukum resmi Kantor Urusan Hukum Sekretariat PBB bahwa “PBB menganggap ‘Taiwan’ sebagai sebuah provinsi di China tanpa status terpisah”, dan “‘otoritas’ di ‘Taipei’ tidak dianggap … memiliki bentuk status pemerintahan apa pun”. Di PBB, pulau ini disebut sebagai “Taiwan, Provinsi di China”[1].
Resolusi 2758 merupakan sebuah dokumen politik yang merangkum prinsip Satu China yang otoritas hukumnya tidak diragukan lagi dan telah diakui di seluruh dunia. Taiwan tidak memiliki dasar, alasan, atau hak untuk bergabung dengan PBB, atau organisasi internasional lainnya yang keanggotaannya terbatas pada negara-negara berdaulat.
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa elemen di sebagian kecil negara, terutama AS di dalamnya, berkolusi dengan kekuatan di Taiwan, untuk mengeklaim secara keliru bahwa resolusi tersebut tidak menyelesaikan masalah perwakilan Taiwan secara menyeluruh. Mengangkat Perjanjian San Francisco yang ilegal dan tidak sah [2] kemudian mengabaikan Deklarasi Kairo, Deklarasi Potsdam, dan dokumen-dokumen hukum internasional lainnya, mereka menyatakan bahwa status Taiwan belum ditentukan, dan menyatakan dukungan mereka untuk “partisipasi berarti Taiwan dalam sistem PBB”. Apa yang sebenarnya mereka coba lakukan adalah mengubah status Taiwan sebagai bagian dari China dan menciptakan “dua China” atau “satu China, satu Taiwan” sebagai bagian dari taktik politik, yaitu menggunakan Taiwan untuk mengekang China. Tindakan yang melanggar Resolusi 2758 dan hukum internasional ini merupakan pelanggaran serius terhadap komitmen politik yang dibuat oleh negara-negara tersebut. Mereka merusak kedaulatan dan martabat China, dan memperlakukan prinsip-prinsip dasar hukum internasional dengan penghinaan. Pemerintah China mengutuk dan menyatakan penolakan tegasnya terhadap mereka.
Prinsip Satu China mewakili konsensus universal masyarakat internasional. Hal itu konsisten dengan norma-norma dasar hubungan internasional. Hingga saat ini, 181 negara termasuk AS menjalin hubungan diplomatik dengan RRC berdasarkan prinsip Satu China. Komunike Bersama China-AS tentang Pembentukan Hubungan Diplomatik, yang dikeluarkan pada Desember 1978, menyatakan: “Pemerintah Amerika Serikat mengakui posisi China bahwa hanya ada satu China dan Taiwan adalah bagian dari China.” Komunike tersebut juga menyatakan: “Amerika Serikat mengakui Pemerintah Republik Rakyat China sebagai satu-satunya Pemerintah China yang sah. Dalam konteks ini, masyarakat Amerika Serikat akan memelihara hubungan budaya, perdagangan, dan hubungan tidak resmi lainnya dengan masyarakat Taiwan.”
Konstitusi Republik Rakyat China, yang diadopsi dalam Sesi Kelima Kongres Rakyat Nasional (National People’s Congress/NPC) Kelima pada Desember 1982, menetapkan: “Taiwan adalah bagian dari teritori suci Republik Rakyat China. Adalah tugas yang tidak dapat diganggu gugat bagi seluruh rakyat China, termasuk kompatriot kami di Taiwan, untuk menyelesaikan tugas besar menyatukan kembali tanah air.”
Undang-Undang (UU) Antipemisahan, yang diadopsi pada Sesi Ketiga NPC ke-10 pada Maret 2005, menetapkan: “Hanya ada satu China di dunia. Baik China Daratan maupun Taiwan adalah sama-sama bagian dari Satu China. Kedaulatan dan integritas teritorial China tidak dapat dipisahkan. Menjaga kedaulatan dan integritas teritorial China merupakan kewajiban bersama semua rakyat China, termasuk kompatriot Taiwan. Taiwan adalah bagian dari China. China tidak akan pernah membiarkan kekuatan separatis ‘kemerdekaan Taiwan’ membuat Taiwan memisahkan diri dari China, baik dengan nama apa pun atau dengan cara apa pun.”
UU Keamanan Nasional, yang diadopsi pada pertemuan ke-15 Komite Tetap NPC ke-12 pada Juli 2015, menetapkan: “Kedaulatan dan integritas teritorial China tidak akan membiarkan pelanggaran atau pemisahan. Menjaga kedaulatan, persatuan, dan integritas teritorial nasional merupakan tugas bersama dari semua warga negara China, termasuk kompatriot Hong Kong, Makau, dan Taiwan.”
Kita adalah satu China, dan Taiwan merupakan bagian dari China. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan yang didukung oleh sejarah dan hukum. Taiwan tidak pernah menjadi negara; statusnya sebagai bagian dari China tidak dapat diubah. Setiap upaya untuk memutarbalikkan fakta-fakta ini dan membantah atau menyangkal prinsip Satu China akan berakhir dengan kegagalan.
II. Upaya Teguh CPC untuk Mewujudkan Reunifikasi China Sepenuhnya
CPC selalu berdedikasi untuk bekerja demi kesejahteraan rakyat China dan peremajaan bangsa China. Segera setelah didirikan pada 1921, CPC menetapkan tujuan untuk membebaskan Taiwan dari aturan kolonial, menyatukannya kembali dengan seluruh wilayah China dan membebaskan seluruh bangsa, termasuk kompatriot di Taiwan. Hal itu menghasilkan sebuah upaya yang luar biasa untuk mencapai tujuan ini.
CPC berkomitmen pada misi bersejarah untuk menyelesaikan masalah Taiwan dan mewujudkan reunifikasi penuh China. Di bawah kepemimpinannya yang teguh, masyarakat di kedua sisi Selat Taiwan bekerja sama untuk mengurangi ketegangan di seluruh Selat tersebut. Mereka menempuh jalan pembangunan yang damai dan membuat banyak terobosan dalam meningkatkan hubungan lintas Selat.
Setelah berdirinya RRC pada 1949, Komunis China, di bawah kepemimpinan Mao Zedong, mengusulkan pedoman penting, prinsip dasar, dan kebijakan dasar untuk penyelesaian damai masalah Taiwan. CPC mempersiapkan dan bekerja untuk pembebasan Taiwan, menggagalkan rencana otoritas Taiwan untuk menyerang China Daratan, dan menggagalkan berbagai upaya untuk menciptakan “dua China” dan “satu China, satu Taiwan”. Melalui upaya-upaya mereka, kedudukan dan hak RRC yang sah di Perserikatan Bangsa-Bangsa telah dipulihkan dan prinsip Satu China juga dianut oleh sebagian besar negara, meletakkan dasar penting bagi reunifikasi damai. Kepemimpinan pusat CPC menjalin kontak tingkat tinggi dengan otoritas Taiwan melalui saluran yang tepat dalam mencari solusi damai untuk masalah Taiwan.
Setelah Sidang Pleno Ketiga Komite Sentral CPC ke-11 yang digelar pada 1978, dengan pembentukan hubungan diplomatik antara RRC dan Amerika Serikat, Komunis China, yang dipimpin oleh Deng Xiaoping, menetapkan pedoman dasar untuk reunifikasi damai dalam kepentingan vital China dan rakyatnya, serta atas dasar konsensus untuk penyelesaian damai masalah Taiwan. CPC memperkenalkan konsep Satu Negara, Dua Sistem yang kreatif dan disusun dengan baik, serta menerapkannya terlebih dahulu dalam menyelesaikan masalah terkait Hong Kong dan Makau. Prinsip itu digunakan untuk meredakan konfrontasi militer di Selat Taiwan, memulihkan kontak, dan membuka pertukaran serta kerja sama antarmasyarakat, yang membuka babak baru dalam hubungan lintas Selat.
Setelah Sidang Pleno Keempat Komite Sentral CPC ke-13 yang digelar pada 1989, Komunis China, yang dipimpin oleh Jiang Zemin, membuat delapan proposal untuk pengembangan hubungan lintas Selat dan penyatuan kembali China secara damai[3]. CPC memfasilitasi kesepakatan di seluruh Selat tersebut pada Konsensus 1992, yang mewujudkan prinsip Satu China. Hal itu memprakarsai konsultasi dan negosiasi lintas Selat, yang menghasilkan pembicaraan pertama antara kepala-kepala organisasi nonpemerintah yang diotorisasi oleh kedua sisi Selat, dan memperluas pertukaran serta kerja sama lintas Selat di berbagai bidang. CPC mengambil tindakan tegas terhadap kegiatan separatis yang dipimpin oleh Lee Teng-hui, dan mengecam keras kekuatan separatis yang mengupayakan “kemerdekaan Taiwan”. Hal tersebut memastikan kelancaran pengembalian Hong Kong dan Makau ke pangkuan China, dan menerapkan kebijakan Satu Negara, Dua Sistem, yang memiliki dampak konstruktif pada penyelesaian masalah Taiwan.
Setelah Kongres Nasional CPC ke-16 yang digelar pada 2002, Komunis China, yang dipimpin oleh Hu Jintao, menyoroti pentingnya pengembangan hubungan lintas Selat secara damai. CPC mendorong diberlakukannya UU Antipemisahan untuk mengekang kegiatan separatis di Taiwan, menjadi tuan rumah pembicaraan pertama antara para pemimpin CPC dan Kuomintang dalam enam dekade sejak 1945, serta mengalahkan upaya-upaya oleh Chen Shui-bian dalam mengarang dasar hukum untuk “kemerdekaan”. CPC juga melakukan perubahan besar dalam memajukan perkembangan damai hubungan lintas Selat dengan mempromosikan konsultasi dan negosiasi yang dilembagakan yang membuahkan hasil bermanfaat, membangun hubungan dua arah langsung secara keseluruhan dalam surat, bisnis dan transportasi, serta memfasilitasi penandatanganan dan pelaksanaan Perjanjian Kerangka Kerja Sama Ekonomi.
Setelah Kongres Nasional CPC ke-18 yang digelar pada 2012, Komunis China, di bawah kepemimpinan Xi Jinping, mengambil pendekatan holistik untuk hubungan lintas Selat sesuai dengan keadaan yang tengah berubah, menambahkan substansi pada teori reunifikasi nasional dan prinsip-prinsip serta kebijakan terkait Taiwan, dan bekerja untuk menjaga hubungan lintas Selat di jalur yang benar. CPC mengembangkan kebijakan keseluruhannya untuk menyelesaikan masalah Taiwan di era baru, dan menetapkan pedoman menyeluruh serta sebuah program aksi.
Pada Kongres Nasional ke-19 yang digelar pada Oktober 2017, CPC menegaskan kebijakan dasar yang menegakkan Satu Negara, Dua Sistem dan mempromosikan reunifikasi nasional, serta menekankan tekadnya untuk tidak pernah mengizinkan siapa pun, organisasi apa pun, atau partai politik mana pun, kapan pun atau dalam bentuk apa pun, untuk memisahkan bagian wilayah China mana pun dari China.