JENEWA, Amerika Serikat (AS) menghabiskan terlalu banyak uang untuk perang dan persenjataan, yang merupakan hal memalukan mengingat masih banyak orang di dunia menderita akibat kelaparan dan kemiskinan, ujar Alfred-Maurice de Zayas, mantan pakar independen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini saat mempromosikan tatanan internasional yang demokratis dan adil.
“Sungguh memalukan mengingat ada jutaan orang yang meninggal di dunia akibat kelaparan, dan kami melakukan sangat sedikit upaya untuk memberantas kelaparan, kami melakukan sangat sedikit upaya untuk memberantas kemiskinan ekstrem,” katanya kepada Xinhua saat melakukan wawancara di luar gedung Istana Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss.
“Kami membakar uang kami untuk kapal selam nuklir baru, dan pengadaan rudal baru, dalam penelitian dan pengembangan kecerdasan buatan, serta apa yang disebut sistem persenjataan otonom mematikan, robot pembunuh, dan lain sebagainya,” lanjut de Zayas. “Di sanalah kami menghabiskan uang-uang kami.”
Menurut sejarawan Amerika-Swiss ini, sebagian besar keuntungan masuk ke kantong para kontraktor pertahanan utama sebagai bagian dari kompleks industri militer Amerika, sebuah jaringan individu dan institusi yang terlibat dalam produksi senjata dan teknologi militer.
“Mereka sangat senang dengan keuntungan yang mereka dapat,” katanya, mengacu pada produsen senjata Amerika. “Setiap perang yang kami kobarkan membawa keuntungan bagi mereka, dan kesengsaraan bagi jutaan orang.”
De Zayas mengingat kembali pernyataan Dwight Eisenhower dalam pidato terakhirnya dari Gedung Putih sebagai presiden AS pada awal tahun 1961, saat pensiunan jenderal Angkatan Darat bintang lima itu memperingatkan terhadap apa yang dia gambarkan sebagai “akuisisi pengaruh yang tidak berdasar, baik dicari maupun tidak, oleh kompleks industri militer.”
“Dia benar sekali,” tutur sejarawan itu terkait pandangan Eisenhower. “Satu-satunya masalah adalah situasinya jauh lebih buruk saat ini dibandingkan pada 1961, dan Tuhan tahu seberapa banyak perang yang telah kami kobarkan sejak tahun 1961, berapa juta orang yang kami bunuh atas nama membawa demokrasi dan hak asasi manusia kepada mereka.”
Menyebutkan invasi Irak yang kaya minyak pada 2003, De Zayas mengatakan bahwa AS, demi melancarkan perang itu, berbohong kepada dunia dengan para pejabat senior pemerintahan, termasuk menteri luar negeri AS saat itu, Colin Powell, berupaya keras untuk menjual apa yang ternyata merupakan klaim palsu bahwa pemerintahan Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal.
“Maksud saya di sini adalah AS telah berbohong kepada dunia, kepada Dewan Keamanan PBB, mendiang Colin Powell memegang sebuah botol kecil dan meyakinkan orang-orang,” tutur penulis beberapa buku tentang isu hukum dan sejarah itu. “Apa yang terjadi di sini adalah bahwa kami tertarik secara geopolitik dengan kehadiran kami di Irak … kami juga tertarik secara ekonomi pada minyak, dan Saddam Hussein tidak bersedia mengikuti permainan kami, jadi dia harus pergi.”
Selain itu, AS pandai menciptakan perpecahan dan ketidakstabilan di negara-negara yang menjadi target, papar de Zayas, menyebut dinas intelijen AS, termasuk Central Intelligence Agency (CIA), dan organisasi nonpemerintah seperti National Endowment for Democracy (NED), serta media, terlibat dalam apa yang disebutnya “perang informasi”.
“National Endowment for Democracy melakukan secara terang-terangan apa yang dilakukan CIA secara diam-diam, jadi NED merusak negara-negara dengan mendanai oposisi, dengan mendanai organisasi nonpemerintah yang akan menyebarkan berita palsu, yang akan menciptakan situasi kebingungan, dalam beberapa kasus, kekhawatiran,” terang sang pakar.
“Anda berupaya mengacaukan negara-negara melalui berita palsu,” katanya. “Anda berupaya mengacaukan negara-negara dengan menciptakan situasi yang tidak ada, dan dengan memberikan narasi yang keliru, idenya adalah untuk membius masyarakat sehingga mereka menerima perubahan rezim, sehingga mereka menerima intervensi militer untuk mencapai perubahan rezim.”
De Zayas juga mengecam konsep pengecualian Amerika, yang menganggap bahwa nilai-nilai dan sistem politik negara itu layak untuk dikagumi secara universal dan telah digunakan untuk memaafkan dan menutupi intervensionismenya.
“Saya rasa mengklaim pengecualian itu menggelikan … media arus utama menulis tentang pengecualian seolah-olah itu adalah sesuatu yang sah,” tambahnya. “Itu semua adalah bagian dari indoktrinasi, semuanya juga bagian dari permainan epistemologis, yang sedang dimainkan.” Selesai