WASHINGTON, Beberapa perang yang dilancarkan Amerika Serikat (AS) “hanya bertujuan untuk meraup keuntungan” dan sanksi yang dijatuhkan AS terhadap negara-negara tertentu sama destruktifnya dengan perang, kata pengacara sekaligus pakar hak asasi manusia (HAM) asal AS, Daniel Kovalik, baru-baru ini.
“Rakyat AS hampir tidak memiliki suara ketika kami berperang. Keputusan ini dibuat di ruang belakang di suatu tempat,” imbuh Kovalik. “Rakyat AS terus dibohongi terkait alasan mengapa kami berperang, karena, sekali lagi, salah satu alasan utamanya adalah untuk meraup keuntungan semata, dan dalam taraf tertentu itu selalu benar, namun kini terlihat secara gamblang.”
Sebuah kasus simbolis untuk mendukung komentarnya adalah invasi AS ke Irak pada 2003. Berbagai tudingan yang menyebut pemerintah Baghdad memiliki senjata pemusnah massal ternyata palsu dan sejumlah pejabat pemerintah tingkat tinggi telah mengakui bahwa perang itu dikobarkan demi minyak.
Kovalik, dalam sebuah wawancara dengan Xinhua via tautan video, juga mengangkat perang di Afghanistan, di mana AS telah mencatatkan kehadiran militer selama hampir 20 tahun, yang dimulai dengan sebuah misi untuk menggulingkan Taliban. Namun, tak lama setelah tentara AS menarik diri secara tergesa-gesa dari negara itu sebelumnya pada tahun ini, Taliban kembali berkuasa.
“Dari sudut pandang strategis, hal itu dianggap sebagai kegagalan total, namun itu berlangsung selama 20 tahun, kenapa hal itu berlangsung selama 20 tahun? Karena perusahaan-perusahaan industri pertahanan yang memproduksi bom, pesawat, kendaraan, dan juga kontraktor militer swasta yang kini pergi berperang, alih-alih personel militer reguler, mereka meraup triliunan dolar selama perang terus berlanjut,” papar aktivis perdamaian tersebut.
“Sehingga, mereka tidak peduli jika perang dapat dimenangkan atau tidak, tujuannya adalah agar perang itu terus berlanjut selamanya,” kata Kovalik, seraya menambahkan bahwa “intinya bukan memenangkan perang, melainkan memastikan perang itu tidak pernah berakhir karena Anda akan terus meraup keuntungan.”
Kovalik, yang mengajar mata kuliah HAM internasional di University of Pittsburgh School of Law, menyatakan bahwa AS muncul dengan beberapa dalih baru untuk melakukan intervensi pasca-Perang Dingin, seperti HAM dan kemanusiaan.
“Sebagian besar, ini hanyalah sebuah dalih, AS tidak memajukan HAM melalui intervensi militernya. Hal itu juga tidak memajukan kemanusiaan. Faktanya, itu justru sangat merusaknya,” imbuh Kovalik.
Kovalik secara khusus mengecam sanksi yang dijatuhkan AS terhadap negara-negara tertentu, dengan alasan hal itu sama destruktifnya dengan perang.
“Saya kira terkait kerusakan, sanksi dan perang membawa dampak yang sama,” kata pakar HAM tersebut. “Kedua hal itu mendatangkan kematian. Mereka menyebabkan kerusakan infrastruktur dengan cara yang sama seperti yang dilakukan bom dan peluru.”
“Jika kami tidak dapat menggulingkan Anda, kami akan menghancurkan Anda, dan hal itu terus dilakukan AS berulang kali,” seperti disimpulkan Kovalik.
Sebagai contohnya, Venezuela yang dijatuhi sanksi oleh AS selama lebih dari 15 tahun.
Diperkirakan lebih dari 40.000 orang telah kehilangan nyawa di Venezuela dari 2017 hingga 2018 sebagai imbas dari sanksi AS yang mempersulit warga biasa untuk mengakses makanan, obat-obatan, dan perlengkapan medis, menurut sebuah laporan yang dipublikasikan oleh Center for Economic and Policy Research, sebuah wadah pemikir yang berbasis di Washington DC, pada 2019.
Sanksi itu, tambah Kovalik, juga mencegah Venezuela, yang memiliki cadangan minyak terbukti terbesar di dunia, untuk “mempertahankan industri minyak dan memelihara jaringan listriknya.”
“Sanksi merupakan perang dengan cara lain,” kata adjunct professor hukum tersebut. “Anda melarang orang-orang memperoleh manfaat dari industri mereka, dan juga, sekali lagi, Anda melarang mereka untuk memperoleh listrik, infrastruktur lain, sekali lagi dengan cara yang sama seperti yang Anda dapat atau akan lakukan lewat cara-cara militer yang sebenarnya.”
Kendati demikian, mayoritas warga AS tidak melihat sanksi sebagai perang dan mereka tidak mengetahui konsekuensinya sehingga mereka “lebih menoleransinya” dan menganggap sanksi merupakan “semacam bentuk koersi yang sah,” menurut Kovalik.
“Ketika Anda melihat dampaknya, mereka terlihat sama atau mirip dengan peperangan militer yang sebenarnya, namun sekali lagi, ada cara-cara yang lebih rahasia dan menciptakan lebih banyak persetujuan di antara populasi dunia Barat yang mungkin sebaliknya akan memprotes hal itu,” pungkas Kovalik. [Xinhua]