Oleh Xu Chi
JENEWA, 8 Desember (Xinhua) — Amerika Serikat (AS) belum mengambil pelajaran dengan benar dari berbagai kegagalan perangnya, kata Richard Falk, profesor emeritus hukum internasional di Universitas Princeton, kepada Xinhua dalam wawancara baru-baru ini via tautan video.
Falk memiliki pengalaman langsung mengunjungi Vietnam semasa perang tahun 1968, yang membuatnya mempertanyakan keabsahan dan legitimasi perang AS di luar negeri.
“Ketika saya memiliki kesempatan mengunjungi Hanoi dan bertemu dengan beberapa pemimpin di sana serta melihat efek dari mesin perang berteknologi tinggi yang digunakan terhadap rakyat jelata yang berupaya membangun hak untuk menentukan nasib sendiri, maka itu mengubah pemahaman saya secara mendasar,” kenangnya.
Amerika Serikat, alih-alih belajar dari Perang Vietnam, telah mengulangi kesalahan itu berulang kali, menurut Falk.
“AS, sejak kekalahannya di Vietnam, meskipun memiliki superioritas militer yang luar biasa, telah gagal untuk mengambil pelajaran dasar bahwa intervensi militer bukanlah alat geopolitik yang efektif,” jelas akademisi ternama itu, seraya menambahkan bahwa petualangan militer AS di Timur Tengah telah semakin jauh mendiskreditkan “intervensi pergantian rezim yang diikuti oleh pendudukan berkepanjangan dan upaya pembangunan negara pada periode pascakolonial.”
Catatan empiris itu “menunjukkan bahwa ketergantungan yang berlebihan dalam kebijakan luar negeri Amerika pada instrumen militer adalah konsekuensi dari upaya mempertahankan postur kuasi-perang sejak Perang Dunia II,” tegas Falk.
“AS menjadi birokrasi negara yang sangat militeristik dengan anggaran militer yang tinggi pada masa damai, dan ini menyebabkannya secara konsisten membesar-besarkan ancaman keamanan, ditambah dengan klaim terkait bahwa pendekatan militer pada tantangan kebijakan luar negeri masih tetap efektif,” ungkapnya.
Terlepas dari ceramah tentang kebaikan “tatanan internasional berbasis aturan” dalam resep kebijakan luar negeri pemerintah AS saat ini, penegasan seperti itu “tampaknya tentu saja tidak menghormati hukum internasional,” papar Falk.
“Itu seperti pihak lain akan dimintai pertanggungjawaban jika mereka menyimpang dari persepsi AS atas aturan apa yang harus (digunakan untuk) memerintah,” imbuhnya. “Tetapi itu justru membuat AS sendiri (tampak) dalam posisi mengejar ambisi geopolitiknya tanpa rasa hormat yang nyata terhadap berbagai batasan yang ditetapkan oleh hukum internasional atau Piagam PBB.” Selesai