Oleh : Wina Armada Sukardi
Dalam acara Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) XI tahun 2021, ketua MPR Bambang Soesatyo diundang sebagai tamu kehormatan. Manakala diberikan kesempatan memberi sambutan di podium, dia menegaskan, film Indonesia memiliki peran yang penting, baik dari segi pembangunan karakter bangsa maupun dari aspek perekonomian. “Itulah sebabnya saya mendukung pemerintah perlu terus menambah membantu perfilman nasional,” katanya.
Dari sambutan Bamsoet, demikian mantan ketua Komisi III dan Ketua DPR itu dipanggil para sobat dekatnya, yang menarik buat saya pribadi bagian awal pembukaannya. Disana dia bercerita, senang datang ke acara itu lantaran dapat jumpa dengan banyak kawan lamanya ketika dia masih menjadi wartawan.
“Itu Mas Wina, dulu atasan saya. Wah, paling galak dia! Kalau saya setor tulisan, kalau dianggap jelek, belum dibaca semuanya, sudah disobek dan dibuang ke tempat sampah, “ ungkapnya, membuat hadirin tersenyum-senyum.
Bamsoet tidak sedang mengarang cerita. Dia benar. Dia dulu anak buah saya langsung waktu kami di harian Prioritas dan berlanjut di majalah Vista. (Sayalah yang membawa Vista ke Surya Paloh dengan mempertemukan pemilik SIUPP Vista, Taufik Toha).
Sama seperti kepada para anak buah lainnya, dimana pun saya jadi atasan, saya memperlakukan Bamsoet dengan “sangat keras.” Tidak ada kata “maklum” untuk setiap kesalahan karya dan proses jurnalistik. Sebuah sikap yang saya pertahankan dimana pun saya berada. Tak peduli ada bawahan yang suka atau tidak, kesal atau tidak, bahkan “dendam” atau tidak: tujuan saya menghasilkan proses dan karya jurnalistik yang terbaik.
Alhamdullilah, puji syukur, sebagian besar mantan anak buah saya sukses, baik di bidang jurnalistik maupun nonjurnalistik. Ada yang jadi Pemimpin Redaksi (Pemred) dan wakil, wirausahawan yang berhasil dan sebagainya. Salah satu yang sukses itu, ya tak lain Bamsoet itu.
Dari dulu penampilan Bamsoet sudah perlente, mudah bergaul, menyukai mobil-mobil produk Eropa, dan tampil flamboyan. Hampir semua ciri itu sampai kini masih melekat pada dirinya.
Lama tak bersua, saat jumpa kembali pertama, penggemar olah raga menembak ini telah menjelma menjadi ketua Komisi III DPR.
Sejak itu, kariernya tambah melesat. Dia kemudian berlanjut menjadi ketua DPR. Terakhir jadi ketua MPR.
Tak hanya sukses dalam karier politik, tapi juga di perkara perekonomian. Pendiri dan chairman Black Stone Group ini punya jaringan usaha yang luas dan besar, mulai dari batu bara, kuliner, sampai cargo pesawat dan sebaginya. Dalam hitungan saya, baik dari aspek finansial maupun politis, penyayang binatang ini, sudah _ gak_ kalah dari mantan “big bossnya” dulu, Surya Paloh.
Tentu capaian prestasi ketua berbagai organisasi ini terang benderang telah jauh melampaui saya. Artinya, dia yang dulu cuma seorang anak buah, telah melejit jauh lebih maju ketimbang kita.
Kehidupan dan penghidupan memang tak dapat diprediksi. Mobilitas sosial yang terbuka dapat menyebabkan posisi seseorang berbalik. Dulu anak buah, lewat suatu proses, mereka dapat berubah menempati posisi-posisi elite, dan bahkan menjadi atasan kita. Hati dan jiwa kita perlu terbuka menghadapi fenomena ini.
Contoh lainnya terjadi pada diri seorang Manto. Sebenarnya, dia bukan bawahan saya langsung, tetapi berada pada satu kelompok “usaha” yang sama. Dulu saya waktu mahasiswa tingkat awal, sudah diberi tanggung jawab menjadi penyiar Radio ARH untuk program Titik Temu dengan acara “Ilmu-ilmu Sosial.”
Secara umum kala itu ARH termasuk kelompok lima besar Radio di Jakarta. Kalau waktu itu Radio Prambos menempati peringkat nomer satu untuk segmen menengah atas, maka ARH juga menempati peringkat satu untuk segmen kaum bawah (waktu itu). Jadi, lumayan prestisius.
Nah, Manto waktu itu tak lebih dari seorang _Office boy _ (OB) di ARH. Tugasnya membuat teh-kopi dan mengantarkannya kepada kami. Dia juga masih harus ikut bersih-bersih area studio.
Meski begitu, semangat jiwanya untuk maju meluap-luap. Sembari menjalani tugasnya sebagai OB, Manto tetap sekolah di SMEA. Dan atas inisiatifnya sendiri , dia mulai belajar menjadi operator. Mula-mula cuma melihat-lihat saja. Kemudian minta diperbolehkan coba-coba sebentar, dan seterusnya, sampai mahir.
Selain secara teknis memahami penyiaran radio, dia juga mengamati dan mempelajari manajemen radio. Setelah mengetahui seluk beluk dunia penyiaran radio, dia mulai merintis peruntungan di usaha radio di Lampung. Mula-mula jadi perwakilan dari pemilik radio salah satu dari “boss” di ARH. Lalu dia mulai berani mengelola studio kecil, sampai akhirnya dapat memiliki serta menguasai dua studio radio besar yang cukup berpengaruh di daerah Lampung. Dia juga menjajal berbagai usaha lainnya. Sang OB lantas menjelma menjadi Jurangan.
Sekitar sepuluh atau 15 tahun silam, saya jumpa pertama kali lagi dengannya di Lampung. Dia langsung memeluk saya, dan meneteskan air mata tanda haru. Jelas ada rasa bangga dan syukur, dapat bertemu dengan saya, saat dirinya sudah mencapai sukses.
Saat itu, dia mengajak saya mengunjungi studio radionya serta mengajak melihat rumahnya. Dalam skalanya, hal itu menjadi simbol sukses.
Masih banyak contoh lainnya, yang saya alami sendiri, yang dulunya anak buah saya, bahkan dalam gradasi yang jauh di bawah saya, dapat menjelma menjadi orang sukses, melompati saya. Mereka juga menempati kedudukan sosial jauh lebih tinggi dibanding saya.
Dunia selalu berubah, yang tak berubah hanya perubahan itu sendiri. Kondisi zaman dapat menghasilkan proses perubahan total. Dulu anak buah, sekarang mereka jadi kaum elite. Jadi “sultan.” Jadi Jurangan. Jadi big bos. Jadi manusia terpandang. Jadi orang penting. Termasuk boleh jadi orang yang sama sekali tidak pernah kita duga mampu mencapai titik itu.
Saya pribadi terbuka, tulus dan ihklas serta penuh rasa syukur menerima perubahan ini, bahkan ikut bangga dengan capaian-capaian bekas anak buah. Tak hanya itu, bahkan saya terus ikut mendoakan kesuksesan dan kesalamatan mereka. Sikap ini membuat saya bahagia ketika melihat ada mantan anak buah yang telah berubah menjadi bos, jurangan, sultan dan yang sejenisnya.
Saya beruntung dapat memahami, jika sebaliknya pikiran kita picik, kita arogan, dan termakan oleh kebanggaan semu masa silam, fenomena ini dapat membuat kita frustasi.
Maka ujaran filosofisnya, jangan pernah menghina dan meremehkan orang, seraya bersyukur baik terhadap eksistensi diri kita, maupun capaian mantan anak buah kita. Setujukah?
Tabik!*