JAKARTA, WB – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Pudjianto menolak rencana pemerintah yang akan mengeluarkan kebijakan pemungutan bea materai atas transaksi belanja lebih dari Rp 250 ribu.
Rencana penetapan meterai pada transaksi belanja itu menurut Pudjianto merupakan kebijakaan ngawur. Menurutnya, Ditjen Pajak sebaiknya jangan terus berburu di kebun binatang, harusnya berburu di hutan yang masih banyak belum bayar pajak.
Aprindo tentu menolak, apalagi tidak ada negara manapun mengenakan biaya bea meterai pada transaksi belanja. “Transaksi belanja konsumen sudah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia menuturkan, bea meterai selama ini hanya digunakan untuk dokumen penting bersifat perjanjian yang mengikat hukum. Sementara struk belanja tidak perlu memakai kuitansi maupun bea meterai atau dipungut pajak bea meterai.
Sementara itu, menurut Kasubdit Peraturan PPN, Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lain DJP, Oktria Hendrarji, sejauh ini tidak banyak masyarakat yang mengerti bahwa ada kewajiban tersebut. Beberapa peritel yang tahu pun, kata dia, sengaja tidak memasukkan bea meterai dalam belanja dengan nominal di atas Rp 250.000.
Menurut Oktria, struk belanja di atas Rp 250.000, seharusnya ada meterai Rp 3.000. Sementara itu, untuk struk dengan nominal di atas Rp 1.000.000, harus bermeterai Rp 6.000.
“Pemungutan bea meterai tidak harus dilakukan melalui meterai fisik, seperti yang biasa ditempelkan dalam dokumen. Pemungutan bea meterai bisa dilakukan lewat komputerisasi, termasuk struk,” ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, DJP Kemenkeu mengusulkan bea materai yang baru maksimal Rp 10.000 dan Rp 18.000. Nantinya, revisi UU tentang Bea Materai, seperti dalam UU sebelumnya, juga akan menyebutkan batasan kenaikan bea materai dari saat ini menjadi Rp 10.000 dan Rp 18.000, melalui Peraturan Pemerintah. []