WARTABUANA – Global E-Waste Statistic Partnership (GESP), organisasi di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurus sampah elektronik, merilis laporan yang menunjukkan sampah elektronik terus menggunung sejak lima tahun terakhir.
GESP, berdasarkan Step Initiative 2014, dalam laporan tersebut menyebut benda elekronik sebagai Electrical and Electronic Equipment (EEE), yakni benda yang memiliki kumparan atau komponen elektronik dengan daya atau baterai.
Benda elektronik akan menjadi sampah elektronik jika dibuang pemiliknya dan tidak digunakan kembali. Dan saat ini naik 21 persen dalam lima tahun,” kata GESP dalam situs resmi mereka, Senin 6 Juli 2020.
The Global E-Waste Monitor 2020 yang rilis pada Juni lalu, menunjukkan sampah elektronik atau e-waste global pada 2019 mencapai 53,6 metrik ton, atau rata-rata 7,3 kilogram per kapita.
Kenaikan sampah elektronik per tahun mencapai 2,5 juta metrik ton. Sementara itu, kenaikan jika dibandingkan pada 2014 berjumlah 9,2 metrik ton.
Laporan tersebut menunjukkan Asia menyumbang sampah elektronik terbanyak pada 2019, yakni 24,9 metrik ton, diikuti Amerika 13,1 metrik ton.
Eropa menghasilkan sampah elektronik sebanyak 12 metrik ton, diikuti Afrika dan Oseania masing-masing 2,9 dan 0,7 metrik ton.
Kenaikan sampah elektronik, menurut riset GESP, dipicu tingkat konsumsi benda elektronik yang tinggi, usia pakai barang singkat dan hanya sedikit perbaikan.
Faktor ekonomi juga turut berperan dalam sampah elektronik, yaitu urbanisasi, industrialisasi dan kenaikan pendapatan yang siap dibelanjakan atau disposable income.
Temuan lain dari riset GESP, baru 9,3 juta metrik ton sampah elektronik yang dikumpulkan dan didaur ulang, atau hanya 17,4 persen dari total sampah yang dihasilkan. Sebanyak 44,3 metrik ton lainnya, atau 82,6 persen, tidak terdokumentasi dan tidak jelas digunakan untuk apa.
Wilayah tertinggi yang mengumpulkan dan mendaur ulang sampah elektronik adalah Eropa yaitu 42,5 persen, diikuti Asia 11,7 persen, dan Amerika 9,4 persen. Adapun Oseania melakukannya sebanyak 8,8 persen, sementara Afrika 0,9 persen.
Di negara maju, produk elektronik yang sudah tidak terpakai bisa diperbaiki dan digunakan kembali, umumnya dikirim sebagai barang rekondisi (refurbished) ke negara berpendapatan rendah hingga menengah, jumlahnya mencapai 7 hingga 20 persen. Elektronik tersebut beru
kulkas, lemari pendingin, dan AC.[]