JAKARTA, WB – Sejak awal HRWG menyayangkan sikap Pemerintah yang mempersiapkan PERPPU kebiri tersebut, termasuk dengan argumentasi anti penyiksaan yang seharusnya tidak dilakukan oleh Indonesia sebagai Negara Pihak Konvensi Internasional Anti Penyiksaan dan pula sebagai inisiator Negara-negara yang mendukung Ratifikasi universal Konvensi Anti Penyiksaan di PBB (CTI, Convention Anti Torture Intitative).
“Untuk itu, atas dasar penolakan IDI tersebut yang secara otomatis menjadikan PERPPU tidak efektif dilaksanakan, serta pentingnya menegakkan prinsip-prinsip anti penyiksaan, HRWG mendesak agar DPR menolak PERPPU tersebut dalam Sidang paripurna yang akan datang. “Kembali kami tegaskan, penolakan kita terhadap kebiri bukan berarti melanggengkan kejahatan seksual. Kejahatan seksual, terutama kepada anak, harus
diberantas dan dihukum seberat-beratnya, namun upaya itu bukan berarti harus melabrak ketentuan hak asasi dan nilai kemanusiaan”, tegas Hafiz kepada media,” ujar Direktur Eksekutif HRWG Muhammad Hafiz pada 6 Juni 2016 di Jakarta.
PERPPU ini merupakan gambaran tidak matangnya rencana dan kajian yang dilakukan oleh pemerintah atau pihak terkait untuk memerangi kejahatan seksual. Solusi yang seharusnya betul-betul dipikirkan secara matang, justru dibuat dengan mengikuti histeria sesaat dan reaktif”, demikian disampaikan Muhammad Hafiz, Direktur Eksekutif HRWG pada 6 Juni 2016 di Jakarta.
Selain itu, HRWG memandang bahwa seharusnya hal ini menjadi pelajaran bagi Pemerintah untuk membuka peluang partisipasi publik sebesar-besarnya dalam pengambilan keputusan, sehingga keputusan yang diambil betul-betul dapat menyasar permasalahan dan implementatif.
“Sejak awal, seharusnya Pemerintah sudah mempertimbangkan hal ini. Banyaknya penolakan dari pelbagai kalangan tentang kebiri ini bukan tidak beralasan. Meskipun kejahatan seksual terhadap anak harus diberantas dan dihukum seberat-beratnya, namun hal itu harus memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi yang telah disepakati”, demikian lanjut Hafiz.