JAKARTA, WB – Anggota Dewan Kehormatan PAN Dradjad, menilai rRilis daftar nama mubaligh dari Kementerian Agama (Kemenag) lebih banyak mudharat-nya. Harusnya Kemenag juga membuat pengaturan serupa untuk penceramah agama non Islam.
“Makin mudharat lagi karena keluar pada bulan Ramadhan. Kontroversinya mengganggu ke-khusyuan beribadah,” kata Dradjad, Rabu (23/5/2018).
Dradjad menilai kebijakan Kemenag ini mempunyai beberapa kelemahan yang serius. Pertama, negara belum memiliki sistem sertifikasi ulama. “Belum ada kriteria, indikator, pemverifikasi dan prosedur untuk menyeleksi mubaligh. Bahkan, UU yang melandasinya pun belum ada,” ungkapnya.
Kedua, lanjut politisi senior ini, sebagian besar pembangunan masjid dan kegiatan dakwah di Indonesia dibiayai secara swadaya oleh ummat. Negara kecil sekali peranannya.
Di Arab Saudi, negara bukan hanya membangun dan merawat masjid, para imam dan pengurus masjid diberi gaji yang sangat layak. Jadi pemerintah Arab Saudi berhak memecat ulama yang tidak sesuai dengan kebijakan negara. Pemerintah Singapura juga berhak mengatur ulama.
Alasan ketiga, menurut Dradjad, mengapa Kemenag tidak mengeluarkan pengaturan dan daftar serupa bagi penceramah agama lain seperti romo, pendeta, pedanda, biksu, dan jiao sheng?. “Apakah ini bukan perlakuan diskriminatif oleh negara terhadap ulama?” tanya Dradjad.
Karena itu, Dradjad meminta Menteri Agama membatalkan eksperimen yang kontra-produktif ini. Biarlah takmir masjid yang menyeleksi sendiri khatib. Mereka sudah punya filternya. “Toh takmir dan jamaah juga yang jatuh bangun mendirikan dan memakmurkan masjid,” paparnya. []