JAKARTA, WB – Duta Besar Republik Indonesia (Dubes RI) di Kenya, Soehardjono Sastromihardjo menyempatkan diri untuk berkunjung ke Satuan Tugas Kompi Zeni (Satgas Kizi) TNI Kontingen Garuda (Konga) XX-M/Monusco (Mission de L`Organisation des Nations Unies pour La Stabilisation en Republique Democratique du Congo) di Republik Demokratik Kongo.
Dalam kunjungan itu, Soehardjono Sastromihardjo memberikan arahan dan motivasi kepada perwakilan anggota Satgas agar selalu berbuat terbaik selama penugasan serta mencegah pelanggaran dalam bentuk apapun, dan mengucapkan terima kasih atas partisipasi anggota Satgas Kongo dalam rangkaian upacara 17 Agustus 2016, di Nairobi.
“Diharapkan ke depan, pelibatan pasukan perdamaian dalam upacara 17 Agustus di wilayah yang menjadi tanggung jawab Kedubes RI di Kenya, dapat dijadikan tradisi,” ucap Soehardjono, beberapa waktu lalu.
Di sela-sela acara ramah tamah dengan perwakilan anggota Satgas Kizi TNI, Soehardjono menyampaikan rasa bangga dan apresiasi yang tinggi atas prestasi yang telah diraih selama penugasan di Kongo. Beberapa permasalahan dalam penugasan PBB menjadi atensi Bapak Duta Besar saat berdiskusi dengan Dansatgas Konga XX-M/Monusco, Letkol Czi Sriyanto M.I.R, M.A, Psc(j).
Dikatakan Soehardjono, guna penyelenggaraan partisipasi Indonesia dalam misi PBB secara lebih efektif dan efisien, perlunya Amandemen MoU antara Pemerintah RI dengan PBB, guna mendapatkan reimbursement personel dan materiil secara proporsional dengan tuntutan tugas dan kinerja yang selama ini dilaksanakan.
“Salah satu mekanisme dukungan yang dapat dijadikan pertimbangan adalah Kontingen Engineering Nepal, dimana Negara memberikan kewenangan kepada Dansatgasnya untuk melaksanakan pembelian spareparts secara langsung di daerah operasi dan atau Negara terdekat,” ujarnya.
Sementara itu, Letkol Czi Sriyanto menuturkan bahwa, proses disposal alat-alat satgas Garuda yang sudah rusak berat juga menjadi bahasan. Kontingen Engineering Garuda memulai misinya di Kongo sejak tahun 2003. Dalam kurun waktu 13 tahun terdapat banyak alat yang rusak berat dan tidak bisa dihilangkan begitu saja karena masuk dalam pendataan alat Negara di luar negeri.
Menurutnya, proses disposal yang sudah diajukan sejak lama dinilai penting karena apabila alat-alat rusak tersebut dibiarkan, maka akan menjadi PR tersendiri jika terjadi perpindahan misi atau bahkan penutupan misi di Kongo. Biaya mobilisasi untuk alat-alat yang sudah rusak berat atau yang sudah menjadi rongsokan menjadi tanggung jawab Negara pengirim. Tentunya hal ini akan sangat merugikan bagi Pemerintah Indonesia.
“Hal lain yang di bahas adalah kemungkinan adanya kegiatan promosi dan sosialisasi produk-produk Indonesia yang dapat dipasarkan dalam penugasan di Kongo, melalui Koperasi UN/PX, anggota Satgas dan kegiatan sosial lainnya,” pungkas Sriyanto.[]