JAKARTA, WB – Tercatat, pada 2014 hingga 2015 ada 3.500 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilaporkan ke presiden. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana S Yembise menyebutkan, kasus kekerasan seksual terhadap anak sudah menurun sejak dua tahun terakhir.
Dalam kunjungannya ke pemukiman padat khususnya di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Mariso itu, Yohana memaparkan beberapa program prioritasnya dengan menyosialisasikan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan Perempuan.
Dia mengingatkan, kepada para kaum lelaki untuk tidak lagi “ringan tangan” kepada para perempuan dan anak karena undang-undang yang terbaru itu memuat sanksi hukum yang sangat tegas seperti sanksi suntik kimia bagi para pemerkosa.
Yohana prihatin dengan laporan langsung warga Kelurahan Panambungan, Kecamatan Mariso, Makassar terkait dengan tingkat kekerasan yang dialami perempuan dan anak. “Ini yang membuat kita prihatin mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak kita. Tapi, saya dan teman-teman lainnya itu sudah membuat undang-undang untuk melindungi perempuan dan anak,” jelas Yohana, Minggu (23/4/2017).
Berdasarkan data, hingga saat ini laporan kekerasan yang masuk ke kementerian masih didominasi kasus kekerasan seksual pada anak. Pelaku dari sejumlah kasus kekerasan seksual pada anak justru adalah orang terdekat dan bahkan dari dalam rumah sendiri seperti paman, saudara, dan tetangga.
“Saya juga tidak mengerti kenapa anak-anak yang terus menjadi korban, utamanya anak-anak di bawah umur dan yang lebih parah itu pelakunya banyak orang dalam rumah dan lingkungan sendiri,” katanya.
Meski begitu, Yohana menyebutkan, kasus kekerasan seksual terhadap anak dinilai sudah menurun sejak dua tahun tahun terakhir. Tercatat, pada 2014 hingga 2015 ada 3.500 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilaporkan ke presiden.
“Di 2016 lalu laporan sudah mulai menurun setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016, salah satu isinya itu tentang hukum kebiri. Kami sudah banyak melakukan sosialisasi tentang UU itu,” ucap Yohana.
Ia berharap dengan adanya Undang Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang hukum yang mengatur untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak, kasus kekerasan seksual di Indonesia bisa terus menurun.
“Isi UU itu sudah jelas barang siapa yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak sampai mati, terkena penyakit menular, dan cacat bisa kena hukum pidana mati, seumur hidup, dan hukuman kebiri,” tegas Yohana.
Sementara itu, Ketua Bidang Pengkajian Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Indonesia, Amsyarnedi, mempertanyakan pernyataan Menteri Yohana yang menyebut adanya penurunan kasus kekerasan terhadap anak pasca ditetapkan UU pemberatan sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual anak (kebiri).
Amsyarnedi mengingatkan peristiwa perkosaan yang menimpa seorang anak berusia 12 tahun di Asahan, Sumatra Utara, pada Jumat (21/4/2017) kemarin. Bocah berinisial J tersebut diculik saat sedang tidur pulas, diperkosa, lalu dibuang di ladang sawit. Tapi dengan perkasa anak itu bangkit, berdiri, dan berjalan ke perkampungan terdekat.
“Kejadian di Asahan tersebut memantik pertanyaan tentang seberapa benar sesungguhnya pernyataan Menteri PPPA bahwa kasus kekerasan terhadap anak menurun sejak ada UU tentang pemberatan sanksi (kebiri),” ucap Amsyarnedi, Senin (24/4/2017).
Amsyarnedi menyampaikan basis data tentang perlindungan anak belum terbangun secara baik. Tiap lembaga punya basis data masing-masing, dengan metode berlainan, dan tidak terintegrasi satu sama lain. Malah, menurutnya ada tokoh dan organisasi perlindungan anak tertentu yang datanya tentang kekerasan terhadap anak sepenuhnya rekayasa.
Jika jumlah kasus menurun, Amsyarnedi menilai boleh jadi itu justru kabar buruk. Jumlah kasus berdasarkan kejadian tidak akan pernah diketahui. Dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak berlaku asumsi puncak gunung es.
Adapun, jumlah kasus berdasarkan laporan, yang sangat mungkin menjadi acuan Menteri PPPA, jika angkanya terus mendaki justru lebih baik. Menurut Amsyarnedi, kenaikan jumlah laporan itu penanda bahwa korban dan masyarakat lebih berani melapor, media lebih intens memberitakan, dan polisi lebih serius melakukan penanganan.
Kritik terhadap pernyataan Menteri PPPA di atas juga memunculkan pertanyaan tentang seberapa jauh partisipasi masyarakat dalam menentukan naik turunnya jumlah laporan.
Di lain sisi, Ketua Bidang Pengkajian Perlindungan Anak LPA ini menambahkan, masyarakat hirau pada naik turunnya jumlah kasus dan pelaku, tapi belum cukup peduli bicara tentang naik turunnya kasus dalam pengertian jumlah korban.
Jumlah korban yang terehabilitasi, yang mendapat restitusi, yang kasusnya diselesaikan lewat jalur non-yudisial, serta berhasil menjadi penyintas belum mendapat perhatian serius.
“Padahal jumlah kasus yang berfokus pada korban adalah jauh lebih penting. Yaitu agar negara punya kesiapan lebih besar menggerakkan anggaran dan program yang ditujukan untuk menyelamatkan korban,” tutur Amsyarnedi.
Ia menambahkan, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia saat ini tengah mengembangkan aplikasi perlindungan anak berbasis ponsel. Harapannya, aplikasi ini bisa memfasilitasi kepedulian masyarakat agar mampu memberikan tanggapan dan aksi secepat mungkin terhadap situasi-situasi kritis yang dialami anak. []