JAKARTA, WB – Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Presiden Jokowi untuk tetap konsisten mendukung penguatan KPK dengan cara menolak gagasan DPR memasukkan revisi UU KPK dalam Prolegnas 2015 dan tidak menunjuk wakil pemerintah dalam proses pembahasan Revisi UU KPK dengan DPR.
“Secara garis besar ada lima isu krusial yang akan dimasukkan oleh DPR dalam naskah Revisi UU KPK yaitu, pembatasan kewenangan penyadapan, pembentukan dewan pengawas KPK, penghapusan kewenangan penuntutan, pengetatan rumusan “kolektif-kolegial”, dan pengaturan terkait Plt Pimpinan jika berhalangan hadir,” seperti keterangan pers ICW yang diterima redaksi Wartabuana.com, Jakarta, Jumat (26/6/2015).
Lebih jauh organisasi non pemerintah itu menjelaskan Usaha merevisi UU KPK bukan baru satu kali terjadi, karena pada 2012 lalu, hal yang sama dengan substansi yang serupa pula, pernah diusulkan untuk dibahas di DPR RI. Pada tahun 2012 seluruh fraksi di DPR menyatakan menolak Revisi UU KPK. Kondisi ini berbanding terbalik dengan saat ini (tahun 2015) dimana seluruh fraksi setuju melakukan revisi UU KPK.
“Selasa, 23 Juni 2015 kemarin malam, melalui sidang Paripurna, seluruh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) ersepakat untuk memasukkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2015. Revisi UU KPK masuk daftar Rancangan Undang-Undang yang ditambahkan dalam prioritas Prolegnas 2015. Tidak ada satu pun fraksi yang menolak Revisi UU KPK. DPR beralasan dimasukkannya RUU KPK dalam Prolegnas 2015 karena usulan dari Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly,” terangnya.
Menurut ICW posisi DPR yang setuju mempercepat pembahasan Revisi UU KPK pada Prolegnas 2015 dengan alasan untuk memperkuat KPK tidak dapat diterima karena poin krusial yang akan diubah justru saat ini menjadi jantung kekuatan KPK. Keputusan ini telah memperburuk citra DPR di mata publik karena pada saat yang bersamaan DPR telah mendukung dana aspirasi sebesar Rp 20 miliar per anggota.
“Patut diduga ada konflik kepentingan yang besar dibalik dukungan seluruh anggota dewan yang hadir dalam rapat paripurna tersebut. Data KPK sejak 2004-kini menyebutkan ada 76 politisi Senayan yang telah dijerat oleh KPK karena terlibat korupsi. Selain itu, tuduhan DPR yang menyebut adanya abuse of power di KPK sebagai justifikasi pentingnya revisi UU KPK tidak didukung oleh bukti yang kuat. Demikian pula,tidak ada kondisi darurat yang menjadi dasar dimasukkannya revisi UU KPK dalam Prolegnas Prioritas 2015,” ujarnya.
“Pada sisi lain upaya politisi Senayan untuk mempercepat revisi UU KPK patut dicurigai sebagai upaya “penyelematan diri” dan “balas dendam” mengingat sejumlah elit partai pernah dijerat dan menjadi terpidana korupsi sebagai hasil dari penyadapan KPK serta tuntutan hukum yang tinggi dari jaksa penuntut KPK. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) sedikitnya 11 politisi Senayan dan parlemen daerah terjerat dalam perkara korupsi yang terungkap dari proses penyadapan yang dilakukan oleh KPK dan dituntut maksimal oleh jaksa KPK (terlampir),” ujarnya lagi.
Saat ini, sambung ICW Presiden memiliki posisi yang sangat penting untuk menyelamatkan KPK. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat, 19 Juni 2015 lalu menyatakan penolakannya terhadap agenda revisi UU KPK. Oleh karena itu, Presiden dengan kewenangan yang dimilikinya dapat menarik diri terlibat dalam pembahasan revisi UU KPK bersama dengan DPR RI.
Ketentuan terkait pembahasan bersama RUU antara pemerintah dan DPR diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada Pasal 49 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan “terhadap RUU Inisiatif DPR maka Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima”.
“Berdasarkan ketentuan diatas maka jika dalam jangka waktu tersebut Presiden tidak menugasi menteri terkait untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan Revisi UU KPK, maka pembahasan tidak dapat dilakukan oleh DPR RI. Dengan demikian proses pembahasan revisi UU KPK yang tidak dihadiri oleh pemerintah dapat dikatakan sebagai cacat hukum,” tandasnya. []