JAYAPURA, WB – Politisi dari Papua Barat Jimmy Demianus Idjie mengkritisi rencana perpanjangan kontrak perusahaan tambang Amerika Serikat, PT Freeport Indonesia. Salah satu syaratnya adalah harus memenuhi hajat hidup warga lokal.
“Harus ada kesepakatan awal yang dilakukan antara Freeport dan Pemerintah Indonesia, yang dalam hal ini harus melibatkan Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat di dalam pembicaraan itu (kontrak),” kata Jimmi Demianus Ijie saat berada di Kota Jayapura, Papua, Selasa (13/10/2015) kemarin.
Mantan Ketua DPRD Papua Barat itu mengemukakan bahwa ia pernah menyampaikan pada sebuah diskusi pada Mei 2013 lalu, ketika 14 orang pekerja tambang bawah tanah Freeport tewas tertimbun di dalam terowongan.
“Kan waktu itu saya sudah katakan bahwa Freeport itu tidak ada manfaat untuk bangsa dan negara Indonesia. Dan mengapa saya katakan Papua dan Papua Barat harus terlibat dalam negosiasi Freeport, itu karena ada kesepakatan bahwa Otsus itu satu tapi dua, dua tapi satu. Satu Otsus berlaku untuk dua provinsi, Papua dan Papua Barat,” kata Koordinator daerah alumni GMNI Papua Barat itu.
Artinya dalam negosiasi atau pembicaraan ulang mengenai kontrak dengan Freeport harus ada asa manfaat bagi masyarakat karena selama ini rakyat Indonesia tidak bisa berbangga.
“Faktanya selama ini kan kita tertipu, kita hanya bisa bertepuk dada dengan royalti satu persen dari Freeport. Itukan hanya sampah yang kita dapat. Jadi keberadaan Freeport itu harus mengangkat harkat dan martabat bangsa ini, terutama rakyat Papua sebagai pemilik SDA itu,” katanya.
Renegosiasi adalah hal yang patut ditegaskan sebelum perpanjangan atau kontrak dihentikan dan hal ini adalah tantangan buat Presiden Joko Widodo dan jajarannya untuk melaksanakan Tri Sakti-nya Bung Karno, yakni harus berdikari, berdiri dikaki kita sendiri, secara ekonomi.
Artinya Freeport merupakan potensi ekonomi terbesar yang ada selama ini tapi kita sia-siakan saja. Berapa juta ton, tembaga, emas yang sudah diangkut? kami tidak sebodoh apa yang dibayangkan, kami juga pernah belajar ilmu pasti.
“Dalam pelajaran kimia, pernah kita pelajari yang namanya sistem berkala, di sistem berkala itu mengajarkan dengan jelas, bahwa kalau disitu ada emas, pasti ada tembaga, pasti ada uranium dan pasti ada nikel,” katanya.
“Mineral-mineral ikutan ini kok tidak pernah dilaporkan kepada kita rakyat Papua, kepada rakyat Indonesia. Jadi saya setuju untuk Freeport itu kita bicara kembali. Kalau untuk pembagian saham, berapa persen yang harus dimiliki oleh Pemprov Papua dan Papua Barat, berapa saham yang harus dimiliki oleh rakyat Indonesia melalui negaranya dan kemudian kita bicara lagi royalti, kenapa satu persen terus, kenapa tidak dinaikkan,” lanjutnya dengan nada bertanya.
Apakah rakyat Indonesia harus menunggu sampai kekayaan alam kering dan habis, kemudian baru dilakukan negosiasi? Memperpanjang kontrak karya Freepot itu sama saja memperpanjang penderitaan rakyat Idonesia, khususnya rakyat Papua.
“Dari pada memperpanjang penderitaan rakyat lebih baik kita putuskan saja dan kita buktikan bahawa Bangsa Indonesia itu lebih besar dari Tunisia, kita lebih besar dari Argentina, Peru dan Cili, dari negara-negara di Amerika Latin. Kalau kita lebih besar, kenapa kita kalah dari Evo Morales, kalah dari Hugo Chaves yang mampu memanfaatkan aset-aset strategis, kenapa kita tidak bisa lakukan itu, atau sudah memang takdir bangsa yang hanya mau jadi budak, begitu,” katanya.[]