JAKARTA, WB – Pakar hukum Indonesia dari University of Melbourne Professor Tim Lindsay memandang tidak ada alasan untuk fobia terhadap maraknya pemakaian jilbab di Indonesia. Hal itu disampaikannya dalam diskusi panel tentang Australia-Indonesia bertema Islam and Diversity in Contemporary Indonesia yang diselenggarakan di Adelaide Festival Centre, Australia Selatan, Sabtu sore (26/9/2015).
“Kecenderungan makin banyaknya perempuan muslim dari kelas menengah memakai jilbab tidak perlu dikhawatirkan. Sebab motivasi mereka berjilbab tidak melulu karena keyakinan atau ideologi,” ujar Tim Lindsay yang thesis doktoralnya mengambil Indonesian Studies seperti dikutip dalam keterangan pers yang diterima redaksi Wartabuana.com, Jakarta, Senin (28/9/2015).
Baginya, gaya hidup yang ditunjang komodifikasi atau industri juga ikut melatari meningkatnya fenomena jilbab.
Pendapat Tim tersebut merespon pengamatan Dosen Senior Fakultas Humanities Flinders University F. Firdaus perihal perubahan perempuan muslim di Indonesia yang dari tahun ke tahun makin bergairah dalam berjilbab.
Dosen Bahasa Indonesia yang akrab disapa Firda ini melihat kecenderungan seperti itu dimulai sejak tahun 80-an karena pengaruh Revolusi Iran.
“Rezim Orba membatasi dan melarang pegawai negeri kerja memakai jilbab. Setelah Suharto turun tiba-tiba sekarang semakin banyak kelas menengah yang berjilbab,” sambung Firda.
Narasumber dari Jakarta Ayu Arman punya pengalaman tersendiri tentang jilbab. Sebagai penulis gender dan Islam yang merekam khazanah keberagaman Nusantara dari Papua, Maluku, Kalimantan, hingga berbagai wilayah Sulawesi, ia sangat optimis dengan dinamika kearifan lokal di Indonesia dalam menghidupkan harmoni dan toleransi.
Tetapi dia terkejut sekali ketika sampai di daerah terpencil di Sulawesi Barat. Lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini tidak bisa mengenali perempuan-perempuan di sana. Pasalanya, dari anak-anak sampai dewasa, para perempuan di sebuah wilayah Mamuju menggunakan burqa yang menutup seluruh badannya dan hanya menyisakan mata.
Dari perjalanan panjang kerja kreatif penulisan itu Ayu mendapatkan kesimpulan bahwa Islam Indonesia sama sekali bukan Islam Arab. Islam di Indonesia punya kemampuan membangun harmoni dengan kearifan lokal di masing-masing daerah.
Ia pun berpandangan sama dengan Firda yang melihat Islam Indonesia tidak statis, bukan konsep tunggal. Dari Aceh, Jawa, Lombok, hingga Papua, Islam Indonesia sangat beragam.
“Islam Indonesia terus berkontestasi dalam memaknai kehidupan beragama dan keberagaman. Pergumulan terjadi dalam menafsir agama yang tekstual dengan yang kontekstual,” papar Ayu.
Karena itu, Ayu menganjurkan pentingnya meletakkan isu gender dengan menggunakan tafsir Islam yang kontekstual dan memberikan penghargaan yang tinggi terhadap perempuan.
Pada kesempatan yang sama, Dosen Senior Fakultas Hukum Monash University sekaligus Ra’is Syuriah Pengurus Cabang Istimewa NU di Australia dan New Zealand Nadirsyah Hosen membuat perumpamaan tentang Islam Nusantara yang sangat mengakomodir keberagaman lokalitas di Indonesia tersebut dengan produk KFC yang mengglobal.
“Di Australia Anda tidak akan pernah mendapat KFC dengan nasi. Agar bisa diterima, KFC hadir di Indonesia dengan citarasa lokal juga, menyuguhkan nasi dengan ayam. Namun, substansinya sama, tetap saja ayam goreng,” terangnya.
Kegiatan diskusi ini ditaja Program Jembatan Flinders University dan merupakan bagian dari gelaran OzAsia Festival, agenda tahunan yang menyuguhkan karya seni internasional setiap musim Semi di Adelaide, Australia Selatan. Festival tahun ini mengambil fokus Cultural Delights of Indonesia 24 September – 4 Oktober 2015. []