JAKARTA, WB – Wakil Ketua DPRD DKI yang juga Ketua Balegda DPRD, M Taufik rampung diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi kasus Skandal Reklamasi, Kamis (28/4/2016). Pemeriksaan ini merupakan yang keenam kalinya dijalani Taufik terkait penyidikan kasus yang telah menjerat sang adik, M Sanusi.
Meski telah berulang kali diperiksa KPK, Taufik yang juga Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta belum juga ditetapkan sebagai tersangka. Disinggung mengenai kesiapannya jika ditetapkan tersangka, Taufik tak menjawab tegas.
“Anda hebat,” kata Taufik usai diperiksa penyidik di Gedung KPK, Jalan Rasuna Said, Setiabudi, Jakarta Selatan.
Taufik pun enggan menanggapi pertanyaan-pertanyaan seputar proses hukum yang kemungkinan akan dijalaninya. Taufik yang diperiksa penyidik selama hampir 10 jam langsung bergegas masuk ke dalam mobil Toyota Camry berwarna hitam dengan nopol B 1965 RFW.
Sebelumnya, Taufik membantah pembahasan Raperda tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta tidak pernah rampung karena anggota DPRD yang menghadiri Rapat Paripurna tidak pernah kuorum. Menurutnya, Rapat Paripurna yang tidak pernah kuorom adalah Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Jakarta
“Jadi tidak benar kalau disebut tidak pernah kuorum, karena (Raperda RTR) belum dibawa ke paripurna,” kata Taufik.
Menurut Taufik, Raperda RTR tidak pernah dibawa ke Paripurna karena DPRD menolak memasukan izin pelaksanaan dan izin reklamasi ke dalam draf yang disusun Pemprov DKI. Hal ini karena Raperda tersebut mengenai tata ruang, bukan Perda tentang perizinan. Apalagi, izin tersebut telah dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama alias Ahok. DPRD DKI.
“Jadi soal perizinan, karena perda ini perda tata ruang sementara eksekutif mau memasukan perda pasal izin pelaksanaan reklamasi dan itu yang kita tolak. Ini kan perda tata ruang, bukan perizinan,” ujarnya.
Namun, Taufik enggan membahas mengenai adanya dugaan aliran dana dari para pengembang termasuk PT Agung Podomoro Land yang ditujukan kepada sejumlah anggota DPRD DKI terkait pembahasan dua Raperda ini. Bahkan pimpinan DPRD DKI sampai mengadakan pertemuan dengan bos Agung Sedayu Group, Aguan. Dengan nada emosi, Taufik justru balik bertanya kepada awak media.
“Yang dapat uang siapa? You kata siapa?,” kata Taufik kembali bertanya.
Sementara itu, KPK sedang mendalami indikasi keterlibatan PT Agung Podomoro Land sebagai korporasi selain mentersangkakan direksi yaitu Presdir Podomoro Ariesman Widjaja dan Personal Assistant Podomoro Trinanda Prihantoro, buntut operasi tangkap tangan yang turut menjerat politisi Partai Gerindra di DPRD DKI M Sanusi.
“Secara teori, korporasi dapat dimintai pertangungjawaban dalam perkara korupsi. Penyidik sedang mendalami keterlibatan korporasi dalam perkara ini,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata beberapa waktu lalu.
Alex, sapaan Alexander juga mengatakan terbuka bagi KPK menetapkan tersangka baru perorangan baik dari kalangan politisi maupun pengusaha dalam perkembangan penyidikan tersebut.
“Jika dalam penyidikan ditemukan keterlibatan pihak-pihak lainnya tidak tertutup kemungkinan ada tersangka baru,” ujarnya.
Diberitakan, KPK menangkap Ketua Komisi D DPRD DKI, M Sanusi lantaran diduga menerima suap dari karyawan PT Agung Podomoro Land Trinanda Prihantoro yang diperintahkan oleh Presdir PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja. Selain menangkap Sanusi dan Trinanda, KPK juga menyita uang sebesar Rp 1 miliar yang diduga suap dari Ariesman dan Trinanda kepada Sanusi untuk memuluskan pembahasan dua Raperda tentang reklamasi pantai utara Jakarta. Sebelumnya, pada 28 Maret, Sanusi juga menerima uang suap dari PT Agung Podomoro Land sebesar Rp 1 miliar untuk tujuan yang sama.
Setelah pemeriksaan intensif, KPK menetapkan Sanusi sebagai pihak penerima suap dan dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Sementara Ariesman dan Trinanda ditetapkan KPK sebagai tersangka pemberi suap. Keduanya disangka melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP. []