JAKARTA, WB – Pemerhati politik dari lembaga Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin mengatakan, sikap Menteri Hukum dan HAM, Yassona Laoly yang mengesahkan hasil Muktamar PPP dari kubu M. Romahurmuziy di Surabaya, adalah melanggar UU Partai Politik.
“Dia (Yasonna sepertinya lupa bunyi pasal 24 UU No. 2 tahun 2008, sebagaimana telah diubah denga UU No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik,” ujar Said di Jakarta, Jumat (31/10/2014).
Said menegaskan, dalam pasal tersebut jika terjadi perselisihan kepengurusan partai politik Kemenkumham itu belum bisa mengesahkan kepengurusan sampai konflik internal mereda.
Namun sebaliknya dalam konteks konflik internal di kubu partai berlogo Kabah itu, Yasonna telah mengesahkan kepengurusan PPP kubu Romi.
Terkait pengesahan itu, lanjut dia, tentu saja dengan sepengetahuan Presiden Jokowi. Karena Yasonna adalah pembantu presiden.
“Yasonna adalah pembantu presien. Oleh sebab itu pengesahkan kepengurusan PPP kubu Romi oleh dirinya selaku menkumham bisa jadi atas instruksi atau sekurang-kurangnya atas persetujuan Jokowi sebagai atasan,” beber Said.
Penggiat demokrasi yang juga tergabung dalam organisasi Forum Pasca Sarjana Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (Forpas HTN UI) ini lebih jauh mengatakan, keputusan Yasonna mengakui muktamar PPP kubu Romi adalah upaya sistematis untuk mereduksi Koalisi Merah-Putih (KMP).
Tetapi prosesnya dialihkan melalui pelemahan kekuasaan eksekutif, bukan lagi di legislatif. Masih kata Said dengan campur tangan yang dilakukan Kemenkumham berarti kontestasi antara KIH dan KMP telah menjalar ke ranah eksekutif.
“Maksudnya KIH manfaatkan peran Yassona untuk kecilkan peran KMP salah satunya dengan mengesahkan pengurusan PPP dibawah kubu Romi,” tandas Said. []