JAKARTA, WB – Desember tahun 2015 Human Rights Working Group (HRWG) telah melakukan pemantauan langsung terhadap situasi ancaman dan kekerasan pegiat HAM yang bergerak pada isu korupsi dan transparansi.
Assessment ini menemukan fakta bahwa secara umum pegiat anti korupsi masih berada pada situasi rentan dan minim perlindungan. Di sisi yang lain, belum ada payung hukum yang melindungi pegiat anti korupsi dan termasuk pula pembela HAM secara umum dari ancaman dan tindak kekerasan yang mereka alami.
“HRWG menemukan bahwa kekerasan dan pelanggaran hak yang dialami oleh pegiat anti korupsi paling signifikan adalah kriminalisasi dan serangan secara langsung (kekerasan). Hampir seluruh pegiat anti korupsi di 5 wilayah yang kami pantau, semuanya pernah mengalami kriminalisasi dan ancaman kekerasan,” kata Direktur Eksekutif HRWG Rafendi Djamin dalam keterangannya yang diterima redaksi Wartabuana.com, Jakarta, Senin (18/1).
“Rekayasa kasus atau perkara yang dipaksakan menjadi trend khusus dalam pelanggaran ini. Selain itu, ada sejumlah bentuk pelanggaran hak pembela HAM, yaitu ancaman kekerasan, stigmatisasi, penyadapan dan mata-mata, ancaman terhadap anggota keluarga, dan ancaman atau serangan terhadap kantor,” imbuhnya.
Di sisi lain, trend umum yang muncul di lapangan, perlindungan terhadap pegiat anti korupsi masih sangat lemah, seperti kurangnya kesadaran penegak hukum dan absennya mekanisme perlindungan. Bahkan, untuk pegiat anti korupsi dan transparansi dalam isu lingkungan, meskipun telah ada jaminan immunitas dalam UU PPLH, pada praktiknya kriminalisasi tetap terjadi dengan pelbagai alasan dan bentuk kejahatan.
HRWG menemukan, bahwa lemahnya sistem perlindungan ini mendorong pegiat anti korupsi mencari sendiri upaya-upaya perlindungan yang dapat memberikan rasa aman kepada mereka agar agenda pemberantasan korupsi terus berlangsung. Prosedur keamanan internal dan berjejaring sesama gerakan masyarakat sipil merupakan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan, selama menunggu pengakuan dan mekanisme formal perlindungan yang disediakan oleh negara.
Kami menemukan bahwa lemahnya perlindungan terhadap pegiat anti korupsi akan berdampak buruk bagi dan melemahkan gerakan anti korupsi itu sendiri, sehingga hal ini juga menjadi ancaman serius bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tiadanya perlindungan ini menyebabkan lemahnya dukungan publik dan takutnya masyarakat untuk terlibat dalam gerakan anti korupsi, karena takut dengan serangan atau kekerasan yang diterimanya. Dalam hal ini, upaya perlindungan pegiat HAM secara umum dan pegiat anti korupsi secara khusus merupakan bagian penting dari upaya pemberantasan korupsi dan perlindungan HAM itu sendiri.
Dalam hal ini, ada beberapa rekomendasi yang hendak kami sampaikan:
1. Mempercepat proses perumusan payung hukum bagi pegiat HAM secara umum dan anti korupsi secara khusus, baik melalui revisi UU No. 39/1999 tentang HAM ataupun membuat UU tersendiri.
2. Memperkuat mekanisme perlindungan melalui lembaga-lembaga negara independen di Indonesia, baik untuk memperkuat perlindungan diri pegiat anti korupsi ataupun yang memperkuat kerja-kerja advokasi pemberantasan korupsi.
3. Mensinergikan mandat perlindungan lembaga-lembaga Negara untuk melindungi pembela HAM secara umum dan pegiat anti korupsi.
4. Memperkuat peranan dan fungsi Pemerintah Daerah dalam perlindungan hak-hak HRD, di antaranya melalui kebijakan daerah. []