JAKARTA, WB – Ketidaksigapan negara dalam mencegah intoleransi dan diskriminasi atas nama agama yang menimpa anak-anak Indonesia mendorong organisasi-organisasi keagamaan dan tokoh lintas-agama mengambil peran aktif dalam upaya penyelesaian permasalahan tumbuh kembang dan kesejahteraan anak berdasarkan prinsip-prinsip perlindungan anak.
Hal tersebut menjadi kesimpulan Diskusi dan Lokakarya Indikator Kesejahteraan Anak dan Konsep Pendidikan Anak dalam Perspektif Agama-agama yang disampaikan Koordinator Forum Dialog Antaragama untuk Kesejahteraan Holistik Anak (FORDAKHA) Ilma Sovri Yanti Jumat sore (8/4/2016) di gedung PGI Jl. Salemba Raya, Jakarta Pusat.
“FORDAKHA diharapkan berkontribusi mengatasi persoalan anak-anak yang di pengungsian dan mengalami kekerasan karena perbedaan agama dan keyakinan dan mendorong Negara memperbaiki kehidupan anak-anak Indonesia,” kata Ilma lewat keterangannya, Jakarta, Senin (11/4).
Aktivis perlindungan anak ini melanjutkan bahwa kehadiran FORDAKHA sebagai ikhtiar menjawab pertanyaan seperti: Sejauh mana negara memastikan anak-anak pengikut Gafatar yang diusir dan ditolak masyarakat dapat mengakses pendidikan tanpa mengalami diskriminasi? Bagaimana negara memfasilitasi tumbuh kembang anak-anak Ahmadiyah di Lombok atau penganut Syiah Sampang di pengungsian secara adil? Apa tindakan negara untuk menghentikan kewajiban peserta didik Kristen di Aceh Singkil mengikuti pelajaran agama Islam atau pelarangan siswa menggunakan jilbab di sekolah Bali?
Acara diskusi dan lokakarya ini selain menuntut pemerintah, juga merumuskan keterlibatan organisasi-organisasi keagamaan dan tokoh lintas-agama menginternalisasi dan menyosialisasikan nilai-nilai bersama dalam menerapkan pola pengasuhan dan pengajaran atau cara mendidik anak secara utuh dan menyeluruh.
Berbagai tokoh lintas-iman yang hadir di antaranya dari Kristen, Katolik, Muhammadiyah, Fatayat NU, Konghucu, Bahai, dan Sunda Wiwitan.
Penghayat Sunda Wiwitan Dewi Kanti menyampaikan bahwa model pendidikan yang diterapkan agama Sunda Wiwitan adalah pembelajaran berbasis komunitas.
“Komunitas kami mengajarkan anak untuk bisa merasa, mampu berempati terhadap suatu ketidakadilan,” tutur Dewi.
Cara yang ditempuh dalam proses pembelajaran itu di antaranya dengan mengenalkan kesenian kepada anak-anak untuk menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan, harmonisasi, dan toleransi. Bermain musik dengan kecapi, misalnya.
Selain itu, lanjut Dewi Kanti, untuk membongkar sekat-sekat akibat kebijakan diskriminatif pemerintah atau masyarakat, agama Sunda Wiwitan mengajarkan anak-anak dengan permainan tradisional.
“Dengan permainan, anak-anak dapat menggali sendiri bagaimana berempati dan menerima perbedaan,” ungkap Dewi. []