JAKARTA, WB – Dengan resminya Joko Widodo sebagai Presiden Terpilih periode 2014-2019 pasca Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan sengketa PHPU 2014 yang diajukan pasangan Prabowo-Hatta beberapa waktu lalu, otomatis Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) juga akan mengisi kursi kursi DKI 1 yang ditinggalkan Jokowi untuk menuju kursi Presiden di Istana Negara.
Namun ternyata permasalahan tersebut tak berhenti sampai di sini. Kini persaingan kursi DKI 2 menjadi hangat diperdebatkan, apalagi hubungan kedua partai PDIP dan Gerindra yang mengusung dua anak bangsa ini untuk memimpin Jakarta pada dua tahun lalu masih panas sejak dimulainya Pemilu Presiden 2014.
“Nuansa Pilpres masih ada, dibutuhkan sikap kenegarawanan disini. Politik itu kan butuh kematangan,” kata Ketua DPP PDI Perjuangan, Maruarar Sirait di Gedung MPR/DPR/DPD RI Senayan, Selasa (26/8/2014).
Dirinya meyakini ke depannya kedua partai tersebut akan kembali menjalin komunikasi yang baik, baik di DKI maupun pusat. Terkait sikap Partai Gerindra yang ngotot untuk mengajukan posisi Wakil Gubernur DKI, putra politikus senior Sabam Sirait ini pun yakin jika Gerindra akan memahami setelah berkomunikasi dengan partainya.
“Yang meninggalkan kursi pimpinan DKI 1 kan Jokowi, bukan Ahok. Sesuai UU saja. Kita yakin akan berikan pasangan yang pas untuk Pak Ahok,” pungkasnya.
Sebelumnya politikus Partai Gerindra, Desmond J. Mahesa menegaskan bahwa tidak ada aturan yang mengatur soal tersebut. Kata Desmond, PDI Perjuangan hanya mengklaim semata jika dialah yang memiliki hak untuk mengusung kadernya menjadi DKI 2.
Sementara itu, Wasekjen PDI Perjuangan Ahmad Basarah memang mengakui jika tidak ada aturan yang mengatur soal aturan retaknya koalisi di tengah jalan. Namun Basarah mengatakan bahwa komposisi gubernur dan wakil gubernur harus sesuai dengan komposisi koalisi saat pasangan tersebut didaftarkan ke KPU.[]