JAKARTA, WB – Sepuluh tahun terakhir, jumlah perokok anak usia 10-14 meningkat dari 9,5 persen menjadi 17,5 persen. Ini menjadi indikasi jika pemerintahan telah gagal melindungi anak Indonesia dari bahaya zat adiktif rokok.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia Hery Chariansyah,SH di Jakarta, Selasa (26/8/2014) yang berharap Presiden Susilo Bambang Yuhoyono (SBY) segera melakukan aksesi Kerangka Kerja Pengendalian Produk Tembakau yaitu FCTC (Frame Work Convention on Tobacco Control) sebelum berakhir masa tugasnya.
“Bagi industri rokok, anak adalah target pasar, dan satu-satunya sumber perokok pengganti yang menjamin keberlangsungan industri rokok. Oleh karena itu, demi kepentingan terbaik bagi anak Indonesia, kami mendesak Pak SBY untuk aksesi FCTC,” ujar Hery.
Hery nyaris putus asa dengan harapannya tersebut mengingat Kementerian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah sepakat dengan program FCTC, namun hingga tinggal dua bulan masa jabatannya SBY belum mengambil sikap.
Sikap Lentera Anak Indonesia dan banyak aktifis anti tembakau sangat jelas bahwa sudah saatnya Indonesia menunjukkan keberpihakkannya terhadap perlindungan anak-anak dari zat adiktif rokok dengan melakukan upaya kebijakan yang dapat mencegah anak menjadi perokok pemula.
Apa yang diperjuangkan kelompok pro FCTC semata-mata untuk pemenuhan hak konstitusional anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal seperti yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (2).
Pada kenyataannya FCTC tidak akan mematikan industri rokok, apalagi menyengsarakan petani tembakau. FCTC bertujuan melidungi generasi muda dari akibat buruk konsumsi rokok dan paparan asap rokok terhadap kesehatan dengan pengaturan penjualan rokok dan pembatasan akses masyarakat terutama kaum muda terhadap produk rokok.
Hingga hari ini sudah ada 178 negara termasuk Ethiopia yang sudah meratifikasi FCTC. Bahkan negara di Asia sudah meratifikasi FCTC. Absennya Indonesia ini menyebabkan negara kita menjadi tujuan utama pemasaran industri rokok multi nasional yang pada akhirnya beresiko merusak kesehatan generasi muda dan kualitas Sumber Daya Manusia.
Di sisi lain, kondisi `terbukanya` pasar rokok di Indonesia akan terus meningkatkan jumlah perokok dikalangan anak-anak, perempuan dan penduduk miskin. Hal ini akan meningkatkan angka kesakitan dan kematian terkait penyakit akibat konsumsi rokok. []