JAKARTA, WB – Analis politik dari The Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, mencatat bahwa kekalahan pasangan Gus Ipul-Puti di pilkada Jatim terjadi dengan banyak faktor. Menurut Direktur Ekskutif The Indonesian Public Institute ini, mengaku “njelimet” untuk dipaparkan.
“Ya kalau bahasa jawanya `njelimet`. Karenanya menurut saya terlalu gegabah jika ada pihak yang menyebut Puti sebagai cucu Sukarno tidak memberikan kontribusi suara. Lebih konyol lagi, jika ada yang mengatakan Puti sebagai penyebab kekalahan,” papar Karyono lewat keterangan tertulisnya kepada wartabuana.com, Selasa (3/7/2018).
Menurutnya, sosok Puti sebagai cucu Sukarno sejatinya justru menjadi kekuatan. Karena sosok Puti dan Sukarno, masih memiliki magnet politik. Kelemahannya, lanjut Karyono adalah di persoalan cara membranding dan cara “menjual”.
“Sebagaimana dalam ilmu marketing, sebelum melempar produk di pasaran diperlukan suvei pasar (marketing riset) untuk menentukan posisioning produk diantaranya adalah soal branding agar konsumen memahami dan tertarik,” ulasnya.
Karyono melihat, salah satu kelemahan yang ada di Tim Puti adalah masih terjebak pada romantisme simbul Sukarno dan tokoh-tokoh NU, yang terlihat kemasannya masih konvensional. Mestinya selain menyajikan kemasan klasik, tradisional, juga diperlukan kemasan baru yang lebih disukai kalangan pemilih milenial.
“Tantangannya adalah bagaimana mengemas Gus Ipul dan Puti disukai kalangan pemilih milenial. Lalu penting juga membuat kemasan sosok dan pemikiran Sukarno dan tokoh NU agar nyambung dan diterima kalangan pemilih yang lebih luas,” ujarnya.
Ia melanjutkan, tentu saja ada banyak faktor yang menyebabkan kekalahan pasangan Gus Ipul – Puti. Tapi di antara sejumlah faktor yang menyebabkan kekalahan adalah karena kegagalan dalam membranding kandidat. Selain itu, dari segi pengaruh figur cagub, di kalangan NU nampaknya Khofifah lebih kuat dari Gus Ipul.
“Khofifah memang pernah kalah dua kali di pilkada Jatim melawan Gus Ipul tetapi sejatinya kekuatan terbesar mengalahkan Khofifah ada di figur Sukarwo. Khafifah hanya bisa “ditaklukkan” dua energi politik yakni kekuatan pendukung Sukarwo dan Gus Ipul bersatu,” katanya.
Sementara dalam pilkada 2018 partai Demokrat, kata Karyono, partainya Pakde Karwo sapaan akrab gubernur Jatim dua periode itu berada di posisi diametral dan berseberangan dengan Gus Ipul. Tentu saja hal ini membuat kekuatan Gus Ipul melemah.
“Kalaupun misalnya Pakde Karwo mengambil sikap netral. Dalam situasi seperti ini tentu saja menguatkan posisi Khofifah.
Selain itu, ada banyak faktor lain yang membuat Gus Ipul-Puti kalah, misalnya massifnya Program Keluarga Harapan (PKH) yang digelontorkan di saat Khofifah menjabat menteri sosial tentu itu menambah modal sosial Khofifah di masyarakat. Dan masih ada lagi faktor lain,” simpul Kardono.[]