JAKARTA, WB – Kritikus sastra, Narudin Pituin berpendapat bahwa banyak angkatan puisi Indonesia yang telah lahir. Tapi lahirnyanya angkatan puisi esai di tahun 2018 ini adalah yang paling heboh sejak era kemerdekaan.
Dibilang heboh, menurut Narudin, puisi esai bisa diklaim kontroversi. Penyebabnya, kontroversi itu terjadi diera social media dimana Para ahli hingga orang awam membuat mereka cepat dan massif menyebarkan argumennya.
“Fasilitas social media ini tak dimiliki oleh kontroversi sastra sebelumnya, baik sastra kontekstual, lekra versus manikebu, hingga polemik kebudayaan,” papar Narudin Pituin dalam debat pro dan kontra puisi esai, Jumat (16/2/2018).
Narudin menjelaskan, dalam pointers yang dibagikan syarat lahirnya angkatan puisi esai tersebut pada dasarnya sudah terpenuhi.
“Sudah ada 40 buku dan segera menjadi lebih 70 buku puisi esai yang ditulis. Sudah hadir 250 penulis puisi esai di seluruh provinsi, dari Aceh hingga Papua. Ini jumlah yang sangat meyakinkan bagi lahirnya sebuah angkatan, ” papar Narudin
Ia menjelaskan, terbukti pula puisi esai berbeda dari puisi sebelumnya karena hadirnya catatan kaki. Ini jenis puisi yang menyatukan fakta dan fiksi. Dengan menggunakan kerangka ahli genre David Fishelov, puisi esai sahih bisa diklaim sebagai genre puisi baru. Sah pula genre baru puisi ini digagas penyair yang juga konsultan politik, Denny JA.
Yang kini diperlukan, ujar Narudin, adalah argumen yang lebih berdasarkan riset, dan dituliskan dalam bentuk makalah. Ini penting agar kontroversi tidak terjatuh menjadi like and dislike personal, tapi debat yang memperkaya sastra.
Klaim Narudin ini diamini oleh Krt Agus Nagoro. Agus juga menceritakan proses kreatifnya. Awalnya ia menentang puisi esai. Namun kegelisahannya atas isu kerusakan sosial akibat pabrik semen, di Jawa Tengah, sebagai penulis ia mencari cara mengekspresikannya.
Agus menemukan format pusi esai cocok untuk ekspresinya. Ada catatan kaki yang membuat data kisah nyata itu bisa masuk dalam puisi. Drama dan puisi yang panjang membuatnya bisa mengeksplor sisi batin peristiwa.
Disisi lain, Eko Tunas yang menentang puisi esai berargumen bahwa, sejenis puisi esai sudah ditulis oleh banyak penyair, sejak tahun 1970an. Saut Situmorang membantah pula keabsahan puisi esai baik sebagai genre baru ataupun angkatan baru. Saut juga membantah keabsahan Denny JA sebagai penggagas.
Denny JA sendiri tak hadir dalam debat pro dan kontra itu juga angkat bicara. Menurut Denny, dialog dilakukan agar pihak yang pro dan kontra lebih bebas ungkapkan gagasannya.
Saat ditanya soal heboh puisi esai, Denny menjawab “ketika menulis puisi esai, saya tak mengira jika efeknya seheboh ini. Ternyata kontroversi dunia puisi sama hebohnya dengan pilpres, ujar Denny tertawa.
Hadir dalam debat itu, di samping Narudin yang pro, juga penentang puisi esai, Saut Situmorang, Eko Tunas, dan penulis puisi esai Krt Agus Nagoro. Ini debat pertama dari serial enam kali debat dengan penyelenggara Yayasan Budaya Guntur yang dipimpin Isti Nugroho.[]