JAKARTA, WB – Setelah mengadukan pelanggaran-pelanggaran HAM kepada Ketua Komnas HAM, beberapa warga eks Gafatar kembali mengadukan diskriminasi yang mereka alami ke Komnas Perempuan.
Kepada Ketua Komnas Perempuan Azriana dan Komisioner lainnya, Saur Tumiur Situmorang dan Adriana Venny Aryani, salah seorang saksi dan eks Gafatar Bunda Ida (40) mengadukan kondisi yang lebih tragis dialami anak-anak dan perempuan. Situasi penuh intimidasi, kekerasan, dan perlakuan tidak manusiawi yang dialami warga eks Gafatar membuat perempuan dan anak-anak sulit menghapus trauma. Beberapa di antara mereka sampai sekarang masih menangis.
“Anak-anak dan perempuan mengalami langsung dari mulai proses pengusiran paksa oleh RT, RW, Lurah, Camat, Babinsa hingga Bupati, kemudian harus melihat pembakaran tempat tinggal baru mereka, menyaksikan pula tentara yang marah-marah sambil mengokang senjata laras panjang di Bekangdam XII Tanjungpura Kalimantan Barat, sampai cara-cara tidak manusiawi mengangkut kami ke kendaraan-kendaraan untuk dipindah ke pengungsian demi pengungsian,” kisah Bunda Ida yang dalam kepengurusan juga menjabat DPD Jawa Barat Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara.
Karena ketidakmampuan negara melindungi warga eks Gafatar, terutama kalangan perempuan, ibu hamil dan anak-anak balita, Ida menceritakan bahwa dari pengungsi Kalimantan Timur ada anak berusia 2,5 tahun meninggal dunia karena tidak tahan selama proses pengusiran yang terus berpindah-pindah. Ada perempuan yang keguguran, ada pula yang melahirkan lebih cepat dari waktu normal karena stres. Anak-anak dan ibu hamil ikut mengonsumsi makanan tidak sehat yang dimasak dengan tidak bersih dan menunya dari hari ke hari selalu sama: mie dan sarden. Akibatnya banyak di antara mereka yang sakit.
Selain trauma yang terus membayangi warga eks gafatar, mereka juga dihantui nasib dan masa depan yang sangat berat. Sebab, di banyak tempat warga eks Gafatar dipersulit mengurus administrasi kependudukan (Adminduk) seperti KTP dan dokumen-dokumen resmi lainnya. Hal tersebut mempersulit mereka sebagai warga negara dalam mengakses hak-hak ekonomi, sosial, kesehatan, dan sebagainya.
“Bagaimana mungkin bisa membuat KTP dan surat-surat resmi lainnya, saya saja ketika pulang tidak diakui sebagai warga tempat saya berasal oleh RT, RW, dan kelurahan,” tutur Rahmat Sunjaya (26) yang pernah menjadi koordinator wilayah Jawa Barat dan kini terpaksa mengosongkan dan meninggalkan rumahnya di Cirebon.
Ia dan istrinya harus menyiasati hidup keluarganya agar bisa bertahan, yang ketika pengusiran terjadi mereka baru sebulan dikaruniai seorang bayi. Sementara selama di pengungsian, Dinas Sosial memberikan susu, pampers dan roti yang kadaluarsa dan tidak mungkin dikonsumsi.
Begitupun aset-aset bergerak dan tidak bergerak milik eks Gafatar yang mereka tinggalkan di Kalimantan tidak bisa atau sangat sulit diambil. Ada yang hancur karena dibakar. Ada pula hilang dijarah. Padahal nilainya tidak sedikit. Rahmat yang mengkoordinir satu kelompok dari beberapa wilayah Jawa Barat saja telah mengucurkan 1 sampai 1,5 milyar yang dibawa ke Mempawah sebagai modal untuk membangun hidup mereka dari awal. []