JAKARTA, WB – Tingkat kemiskinan di Indonesia ada di peringkat 6 di Asean dan 117 di antara seluruh negara di dunia. Sementara ketimpangan ekonomi semakin jelas, tingkat pertumbuhan orang kaya di Indonesia paling tinggi di dunia.
Hal itu terungkap dalam Diskusi Panel Serial (DPS) 2017 – 2018 dengan tema ATHG dari Dalam Negeri / Pemberantasan Kemiskinan di Merak Room, JCC, Senayan, Jakarta, Sabtu (10/2/2018) yang menghadirkan pembicara Prof. Prijono Tjiptoherijanto, SE, MA, Ph.D, Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, Msc dan Prof. Dr. Didin S. Damanhuri.
Seperti biasa, dalam DPS Seri ke-9 ini juga dihadiri Ketua FKPPI sekaligus Ketua Aliansi Kebangsaan, dan Pembina YSNB Pontjo Sutowo, serta Ketua Panitia Bersama DPS Iman Sunario, dan Prof. Dr. La Ode Kamaludin yang bertindak sebagai moderator DPS.
Masalah kemiskinan dan pemberantasan kemiskinan sangat kompleks karena tidak hanya sekedar masalah ekonomi dan keuangan semata, yang bisa dengan cepat diatasi dengan memberikan santunan dan pekerjaan.
Kemiskinan dan pemberantasan kemiskinan juga merupakan masalah filsafat dan ideologi, masalah politik, masalah ekonomi, masalah sosial budaya, serta masalah pertahanan dan keamanan yang harus ditangani secara simultan dan terintegrasi.
Sayangnya pada saat yang ini muncul anggapan bahwa kemiskinan merupakan sebuah budaya, dan menganggap kemiskinan itu sebagai takdir yang tidak dapat diubah. Sehingga bantuan yang diberikan hanya untuk maksud-maksud yang bersifat konsumtif berjangka pendek.
Sangat beruntung PBB telah menemukan teknik untuk memberantas kemiskinan tersebut. Dan pemberantasan kemiskinan itu bertumpu pada peran pemerintah sesuai peran dan fungsinya untuk melindungi kaum miskin dari rakyatnya.
Oleh sebab itu, pada saat ini perlu adanya sangsi konstitusional terhadap Pemerintah Negara yang mengabaikan tugas konstitusionalnya dalam memberantas kemiskinan.
Menurut Prijono Tjiptoherijanto, kemiskinan pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kelompok. Kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif ini terjadi karena perbedaan distribusi pendapatan. Dan dari dua kemiskinan tersebut, kemiskinan relatif paling berbahaya karena dapat mengakibatkan adanya revolusi.
“Kemiskinan sendiri dapat terdiri dari banyak unsur, seperti misalnya kemiskinan ekonomi, pangan, enviromental, personal, dan politik. Kemiskinan itu lebih bersifat kemiskinan relatif daripada kemiskinan absolut”, kata Prijono.
Sementara itu menurut Bunasor Sanim, kondisi Indonesia mengalami krisis. Hal ini karena tingkat kemiskinan di Indonesia menduduki peringkat ke 6 di Asean (2015) dan mengalami penurunan di tahun 2016 dan 2017 namun masih tetap tinggi dan 117 di dunia.
Sementara itu tingkat pengangguran terbuka berkisar 6 % pada periode 2015-2017, dan tingkat pengangguran terselubung cukup tinggi. Belum lagi nilai Gini Rasio masih sangat tinggi tahun 2017 sebesar 0,391.
“Pengangguran terselubung itu umumnya berlatar belakang pendidikan tinggi yang bisa melahirkan kerawanan sosial,” ujar Bunasor Sanim.
Dan untuk mengatasi kemiskinan tersebut, Bunasor menyatakan jika bangsa Indonesia perlu segera melakukan penguatan dan percepatan pembangunan sumberdaya manusia. Seperti melalui hijrah moral, peningkatan kualitas kerja masyarakat, peningkatan kualitas SDM, menjadikan agricultural demand led industrialization sebagai strategi pembangunan ekonomi nasional, serta mengembangkan dan memperkuat UMKM.
“Jika hal tersebut dapat dilakukan, maka kemiskinan dapat segera diatasi”, kata Bunasor.
Di tempat yang sama, Didin S. Damanhuri menyatakan jika kemiskinan terjadi karena pemerintah gagal dalam merealisasikan prinsip-prinsip Ekonomi UUD 1945. Kegagalan tersebut karena sebab struktural maupun kultural.
Penyebab struktural misalnya adanya warisan struktur ekonomi kolonial dan feodal, kompleksitas persoalan karena penduduk besar, serta gagalnya kepemimpinan dalam mentransfer masukan prinsip ekonomi UUD 1945 ke dalam kebijakan yang efektif.
Penyebab kultural seperti masuknya prinsip-prinsip pemikiran ekonomi yang berasal dari berbagai grands theories yang tidak relevan, dan menjangkitnya korupsi secara masif.
Didin mengungkapkan, saat ini Indonesia menduduki peringkat pertama pertumbuhan oranhg kayanya. Itu artinya yang kaya bisa semakin kaya dan yang miskin bertambah banyak.
“Untuk mengatasi hal tersebut, maka diperlukan UU Perkonomian yang bisa menjadi payung UU Ekonomi lain sesuai pasal-pasal UUD 1945, mengadakan judicial review ke MK terhadap UU Ekonomi yang bertentangan dengan UUD 1945, serta melakukan kontrak politik terhadap para pemenang pemilu agar platformnya tidak bertentangan dengan UUD 1945”, kata Didin. []