JAKARTA, WB – Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Satrio Arismunandar, menyambut baik datangnya angkatan puisi esai sebagai tonggak baru sastra Indonesia. Berbeda dengan angkatan sastra sebelumnya, angkatan puisi esai ingin mengembalikan puisi kepada masyarakat.
Satrio menjelaskan, yang bukan penyair boleh ambil bagian. Satrio sendiri tidak merasa seorang penyair.
“Saya bahkan sudah menuliskan buku soal korupsi dalam bentuk puisi esai. Tak hanya saya, teman teman saya lainnya, dosen, aktivis, peneliti banyak juga yang sudah menulis bahkan membuat buku dalam bentuk puisi esai,” kata Satrio dalam siaran persnya, Senin (29/1/2018).
Satrio juga menanggapi kontroversi tentang lahirnya angkatan baru dalam puisi Indonesia telah menjadi pemberitaan media akhir-akhir ini. Kata dia, kontroversi pada Januari 2018 itu, akan terus berlanjut, dipicu oleh momen akan terbitnya 34 buku puisi esai di 34 provinsi seluruh Indonesia.
Karya-karya tersebut ditulis oleh 170 penyair, penulis, aktivis, peneliti, dan jurnalis dari Aceh hingga Papua.
“Ini spektrum yang luas dan cukup representatif. Pro-kontra lahirnya angkatan baru dalam puisi Indonesia ini benar-benar gegap gempita,” ujarnya.
Rencana penerbitan 34 buku puisi esai itu ditentang oleh ratusan penyair dan sastrawan. Mereka membuat petisi penolakan terhadap program Penulisan Buku Puisi Esai Nasional, yang digagas oleh Denny Januar Ali (Denny JA). Petisi itu dikabarkan sudah didukung 549 orang.
“Pihak yang menolak ini menuduh program puisi esai tersebut telah membuat penggelapan sejarah, pembodohan, pengeliruan definisi-definisi ilmiah, dan segala praktik manipulatif lain dalam kesusastraan Indonesia,” ujarnya.
Bagi Satrio, saat ini era demokrasi. Orang bebas berkarya dan membuat klaim dimana publik yang menilai.
Namun menurut Satrio, Angkatan puisi esai sudah melakukan apa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebanyak 170 penulis dan penyair dari 34 provinsi membuat sebanyak 34 buku serial puisi esai soal jeritan batin Indonesia.
“Ini bagi saya bukan hanya kegiatan membuat buku tapi tonggak budaya, yang hanya mungkin dihasilkan oleh generasi yang gemilang,” tandas Satrio.[]