JAKARTA, WB – Dari hasil penelitian ITB yang dijalankan selama 1982-2010 dengan teknologi survei sifat datar (leveling survey) dan menggunakan alat global positioning system serta radar (Insar), ditemukan penurunan muka tanah tersebar di sejumlah tempat di Jakarta. Penurunannya bervariasi 1-15 cm per tahun. Bahkan, di beberapa lokasi terjadi penurunan 20-28 cm per tahun. Kawasan Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, adalah salah satu kawasan yang mengalami penurunan muka tanah cukup besar. Selama tiga dekade ini, beberapa daerah di Pluit mengalami penurunan tanah 1,8 meter hingga 3 meter.
“Penurunan muka tanah akibat eksploitasi air tanah yang tidak terkendali membuat Jakarta Utara semakin rawan banjir rob. Penurunan tanah di Pantura Jakarta bukan sesuatu yang bersifat alamiah. Tapi lebih disebabkan faktor pengaruh manusia yaitu eksploitasi air tanah yang melebihi daya tampung dan daya dukungnya. Penambilan airtanah yang besar-besaran ini lah yang menyebabkan akuifer dalam tanah kemps sehingga tanah ambles. Selain itu ada facktor alami yaitu kenaikan muka air laut. Kombinasi antara turunnya tanah dan naiknya muka air laut itulah yang menyebabkan rob,” ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Jakarta, Selasa (7/6).
Ditambahkan Sutopo saat ini di wilayah Jakarta Utara ada 26 titik rawan banjir rob meliputi Penjaringan, Pluit, Kamal muara, Kapuk muara, Tanjung Priok, Kalibaru, Ancol, Pademangan, Marunda, Koja, Lagoa, Sunter Karya Selatan, Papanggo, Sunter Agung, Warakas, Kebon Bawang, Sungai Bambu, Jampea, Kramat Jaya, Kelapa Gading, KBN Cakung, Sunter Jaya, dan Yos Sudarso.
“Ancaman rob di masa mendatang akan makin serius sehingga dapat menyebabkan wilayah Utara Jakarta tidak menarik untuk investasi atau pengembangan wilayah jika tidak dapat mengatasi rob. Perlu upaya yang komprehesif untuk mengatasi banjir rob karena ancaman di masa mendatang akan lebih meningkat,” terang Sutopo.
Masyarakat harus adaptasi dan mitigasi dengan rob tersebut. Masyarakat dan pemerintah bisa membuat tanggul, meninggikan lantai, membangun rumah panggung dan lainnya. Bahkan secara swadaya membangun polder dan pompa untuk di melindungi lingkungannya. Masyakarat dan dunia usaha yang ada di wilayah itu harus kompak tidak mengeksploitasi air tanah secara berlebihan. Membangun sumur resapan, biopori, dan upaya lain yang intinya menakan agar penurunan muka tanah dapat berkurang.
Pemda DKI Jakarta dan Kementerian PU Pera telah memiliki langkah-langkah antisipasi rob dan banjir di Jakarta, seperti pembangunan tanggul laut raksasa, reklamasi, pembangunan polder, tanggul di pantai dan upaya struktural lainnya. Tentunya saja upaya tersebut selalu ada yang pro dan kontra.
Peninggian tanggul memang merupakan langkah paling efektif mengurangi potensi rob. Namun, hal ini tidak bersifat permanen karena daya tahannya 5-10 tahun. Langkah ini dinilai bisa menjadi solusi sementara menahan rob sambil menunggu pembangunan tanggul laut raksasa dimulai. Proyek Giant Sea Wall memang proyek prestisius. Proyek ini ditargetkan dimulai pada 2015 dan terwujud tahun 2025. Namun, pembangunannya membutuhkan dana besar. Agar memberikan manfaat ganda, pembangunan tanggul itu juga akan disertai reklamasi pantai.
Gagasan reklamasi lebih dititikberatkan pada pertimbangan perluasan lahan dan ekonomi. Rencana ini pun sudah tertera dalam Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2011-2030. Tertulis, pembangunan tanggul raksasa diintegrasikan dengan reklamasi pantai utara sepanjang 32 kilometer dari batas timur hingga barat pantai Jakarta. Di atas lahan reklamasi dapat dibangun kawasan komersial dan kemungkinan jaringan jalan baru. Reklamasi membendung peninggian air laut dan penurunan daratan di Pelabuhan Rotterdam, Belanda, dan New Orleans, AS, dapat dijadikan rujukan.
Sayangnya rencana tersebut saat ini dihentikan karena pertimbangan lingkungan, perijinan, administrasi dan lainnya. Tentu saja dampak lingkungan atau sosial ekonomi masyarakat pasti ada. Tapi semua itu bisa diselesaikan niatan baik. Jika tidak banjir rob akan makin meluas dan meningkat. []