JAKARTA, WB – Sebuah organisasi non-pemerintah (NGO) atau Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis ada sepuluh daerah yang tingkat korupsinya tinggi. Diantaranya Sumatera Utara dan NTT terdapat 24 kasus korupsi. Dari Sumatera Utara (kasus korupsi) kerugian negaranya mencapai Rp 120,6 miliar dengan nilai suap sebesar Rp 500 juta.
“Selanjutnya kasus korupsi yang terjadi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur masing – masing ada 19 kasus. Setelah itu ada Sumatera Selatan (16 kasus), Sumatera Barat dan Lampung (masing-masing 14 kasus), Papua (13 kasus) dan Riau (12 kasus),” demikian disampaikan ICW dalam keterangannya yang diterima redaksi Wartabuana.com, Jakarta, Selasa (15/9/2015).
Sementara pada sisi aktor yang terlibat kasus korupsi, ICW mengidentifikasi ada sepuluh aktor yang paling banyak melakukan tindak pidana korupsi. Mereka yang berjumlah 212 orang ini berlatar belakang sebagai pejabat atau pegawai kementerian maupun pemerintah daerah.
“Latar belakang tersebut adalah aktor yang paling banyak terjerat kasus korupsi. Di urutan kedua yang banyak melakukan tindak pidana korupsi adalah dari swasta, mulai dari Direktur, Komisaris, konsultan dan pegawai swasta sebanyak 97. Latar belakang kepala desa, camat, lurah menempati posisi ketiga sebagai aktor terkorup sebanyak 28 orang. Latar belakang seperti Kepala Daerah (27 orang), Kepala Dinas (26 orang) dan Anggota DPR / DPRD / DPD (24 orang), pejabat atau pegawai lembaga negara lain (12 orang), direktur, pejabat, pegawai BUMN / BUMD (10 orang), kelompok masyarakat (10 orang), pejabat atau pegawai bank (10 orang) mengikuti posisi berikuntya secara berurut,” lanjutnya.
Kendati demikian kinerja penyidikan kasus korupsi oleh APH pada semester 1 2015 mengalami penurunan. Penurunan terjadi karena penurunan berkurangnya kuantitas dan kualitas kasus yang disidik oleh KPK. Sampai semester awal 2015 ini, APH hanya mampu menaikkan 50,6 persen dari total 2.477 kasus korupsi pada tahap penyidikan ke penuntutan. APH juga masih belum berhasil menyidik semua temuan yang memiliki unsur pidana korupsi yang ditemukan BPK RI dan BPKP senilai Rp 59,8 triliun.
“Pemantauan didasarkan pada kasus korupsi yang masuk tahap penyidikan dan penuntutan dan eskpose penyidik atau APH pada publik melalui publikasi resmi APH, media massa dan lain sebagainya. Selain itu, analisis hasil pemantauan juga menggunakan data sekunder dari hasil pemeriksaan BPK dan BPKP,” terang dia.
Berikut adalah temuan pemantauan dan hasil analisis atas temuan tersebut :
Selama semester I 2015, APH berhasil menyidik 308 kasus korupsi dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 1,2 triliun dan nilai suap sebesar Rp 475,3 miliar. Jumlah tersangka tersangkut kasus korupsi ini adalah sebanyak 590 orang.
Perbandingan jumlah kasus, kerugian negara dan nilai suap antara semester I 2015 dan semester sebelumnya temukan bahwa :
Jumlah kasus korupsi yang statusnya naik menjadi penyidikan cenderung lebih besar dibandingkan dengan rata-rata jumlah kasus korupsi tiap semester yakni sebesar 253 kasus1. Jadi, jumlah kasus yang disidik pada semester ini lebih besar dibanding dengan rata-rata. Perbandingan jumlah kasus tiap semester ditemukan adanya tren menaik. Namun jumlah kasus yang disidik sejak semester 1 2014 sampai semester 1 2015 mengalami stagnasi.
Meski memiliki tren meningkat atau stagnan dalam tiga semester terakhir, tren kerugian negara justru mengalami penurunan. Nilai kerugian negara dari kasus korupsi yang disidik oleh APH tiap semester sekitar Rp 2,7 triliun. Sementara kerugian negara dari kasus yang disidik pada semester I 2015 adalah sebesar Rp 1,2 triliun. Mengapa penurunan ini terjadi?
Penurunan terjadi karena menurunnya kinerja penyidikan kasus korupsi oleh KPK. Dalam periode 2010 – 2014 KPK rata-rata menyidik 15 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 1,1 triliun. Namun pada semester ini, KPK hanya menyidik 10 kasus korupsi dengan kerugian negara dan suap Rp 106,4 miliar.
KPK berkontribusi sebear Rp 30 persen terhadap total kerugian negara kasus korupsi yang ditangani diseluruh Indonesia. Oleh karena itu, jika kinerja penyidikan KPK mengalami penurunan maka hal tersebut berdampak terhadap indikator kinerja penyidikan kasus korupsi nasional terutama pada aspek kerugian negara dan nilai suap. Mengapa KPK mengalami penurunan kinerja penyidikan?
Penurunan kinerja penyidikan KPK pada semester I 2015 terjadi karena lembaga ini mengalami serangan balik yang sangat gencar pada semester ini. Serangan tersebut antara lain, kriminalisasi pimpinan dan penyidik, praperadilan, teror dan revisi UU KPK. Serangan balik ini telah mengubah konstelasi, psikologi dan motivasi seluruh jajaran KPK sehingga berdampak terhadap kemampuan penyidikannya. Selain menerima serangan, dukungan politik berupa perlindungan politik bagi KPK dari Presiden RI dan kelompok politik yang ada juga dinilai belum memadai.
Selain analisis tren korupsi, kinerja penyidikan kasus korupsi APH pada semester ini belum maksimal. Hal ini ditunjukkan masih banyak temuan BPK dan BPKP yang memiliki unsur pidana belum ditindak lanjuti oleh APH. Sampai pada tahun 2014, BPK RI dan BPKP telah menyampaikan temuan pemeriksaan yang memiliki unsur pidana APH sebanyak
Berdasarkan data yang diolah oleh ICW yang bersumber dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK periode 2003 – 2014, ditemukan adanya 442 temuan yang memiliki unsur tindak pidana korupsi senilai Rp 43,8 triliun. BPK telah menyampaikan sebanyak 227 surat dari total temuan. Sedangkan data BPKP yang telah diolah oleh ICW, BPKP telah melakukan 3.072 audit investigatif dan perhitungan kerugian negara selama 2011 – 2015 semester I dengan nilai temuan sebesar Rp 16 triliun.
Jika temuan BPKP dan BPK dijumlahkan dan diasumsikan tidak ada temuan yang overlap, maka jumlah total temuan adalah sebanyak 3.514 dengan kerugian negara Rp 59,8 triliun. Perbandingan nilai ini dengan nilai kerugian negara kasus korupsi disidik APH dalam periode 2010 sampai dengan semester I 2015 ditemukan bahwa terdapat selisih sekitar Rp 29,2 triliun (59,8 triliun dikurangi Rp 30,6 triliun ). Jadi terdapat defisit kerugian negara pada kasus korupsi yang ditindak oleh APH sebesar Rp 29,2 triliun. Artinya masih ada kasus korupsi senilai Rp 29,2 triliun yang seharusnya masuk dalam tahap penyidikan tapi belum ditindaklanjuti oleh apagakum. []