JAKARTA, WB – Kementerian Agama RI telah merilis 200 nama mubaligh yang direkomendasikan untuk mengisi pengajian di masjid, musholla, kantor dan majelis lainnya. Anehnya banyak , nama-nama kondang seperti Ustadz Abdul Somad Lc MA dan ulama Alumni 212 tidak masuk daftar itu.
Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin , mereka yang masuk rekomendasi harus memiliki keilmuan yang tinggi, reputasi yang baik, serta berkomitmen kebangsaan yang tinggi. Para mubaligh itu berasal dari masukan ormas islam, tokoh agama dan tokoh masyarakat.
“Selama ini, Kementerian Agama sering dimintai rekomendasi mubalig oleh masyarakat. Belakangan, permintaan itu semakin meningkat, sehingga kami merasa perlu untuk merilis daftar nama mubalig,” kata Lukman seperti dikutip dari lama resmi kemenag.go.id, Jumat (18/5/2018).
Tapi ada yang sesuatu yang janggal dari daftar yang dirilis oleh Kemenag tersebut, yaitu absennya nama seorang ulama kondang asal Riau yang bergelar Da`i sejuta viewer yakni Ustadz Abdul Somad (UAS).
Menag Lukman Hakim Saifudin mengatakan “Nama yang masuk memang harus memenuhi tiga kriteria itu. Namun, para mubalig yang belum masuk dalam daftar ini, bukan berarti tidak memenuhi tiga kriteria tersebut. Artinya, data ini bersifat dinamis dan akan kami update secara resmi,” ujarnya.
200 Nama ini merupakan tahap awal dan berasal dari masukan tokoh agama, ormas keagamaan, dan tokoh masyarakat. Nama ini akan terus bertambah seiring dengan banyaknya mubalig di Indonesia.
Masyarakat bisa mengetahui informasi tentang mubalig yang direkomendasikan Kemenag melalui nomor WhatsApp 0811-8497-492. Berikut 200 nama mubalig yang direkomendasikan Kemenag.
Dan yang lebih menarik lagi, ulama dan tokoh Islam yang terlibat dalam aksi Bela Islam 212 banyak yang tidak masuk daftar itu seperti Habib Rizieq Shihab,Ustadz Bactiar Nasir, Ustadz Tengku Zulkarnain dan sejumlah nama penceramah kondang lainnya.
Hadirnya daftar 200 penceramah terekomendasi pamerintah ini akhirnya menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Islam yang menduga pemerintah sudah diskriminatif dan sudah mendikotomikan sosok ulama. Kondisi ini bisa menimbulkan keresahan dan memicu konflik. []