Oleh : J Kristiadi
SETELAH runtuhnya kekuasaan rezim Soeharto, setiap terjadi peristiwa politik yang penting, mulai Pemilu 1999 dilanjutkan Sidang Umum MPR, Sidang Tahunan MPR tahun 2000, Sidang Istimewa 2001 dan Sidang Tahunan MPR 2001 yang baru saja selesai, suasana umum kebatinan rakyat amat mengharapkan agar melalui peristiwa-peristiwa penting itu segera dapat dibebaskan dari kemiskinan, pengangguran, ketidakpastian hidup, memperoleh keadilan, rasa aman, dan harapan- harapan lainnya.
Pokoknya rakyat ingin segera bebas dari impitan kesulitan hidup serta keterpurukan yang dirasakan makin hari makin bertambah berat. Situasi psikopolitik ini amat dipahami mengingat selama hampir lima tahun krisis yang melanda bangsa ini masih berlangsung dan belum memberi tanda-tanda jelas dimulainya secara sistematis mengatasi berbagai macam krisis itu. Karena itu, dapat dipahami bila, ibarat, rakyat menghendaki lampu aladin yang dapat segera mengubah hidup yang sengsara ini menjadi lebih baik.
Bertolak dari suasana kebatinan itu, hasil Sidang Tahunan MPR 2001 tentu amat mengecewakan rakyat karena beberapa alasan. Pertama, Sidang Tahunan kali ini masih belum berhasil menetapkan pola pengelolaan kekuasaan baru yang komprehensif, dengan rumusan yang lugas dan tidak menimbulkan kontroversi penafsiran dalam suatu kerangka konstitusi. Upaya yang dilakukan secara cicilan melalui mekanisme amandemen, meski beberapa prinsip dasar telah disetujui, antara lain pemilihan presiden langsung, masih akan ditunda dan dijanjikan akan diselesaikan pada Sidang Tahunan 2002.
Begitu pula mengenai sistem parlemen bikameral yang diharapkan dapat merupakan bagian dari proses penyusunan kekuasaan yang seimbang dan saling kontrol di antara lembaga-lembaga negara mengalami nasib yang sama. Ini berarti, MPR kali ini telah kehilangan momentum penting untuk membuat sejarah mengubah struktur kekuasaan dan tata negara baru dalam mewujudkan demokrasi ke depan. Penundaan berarti menambah ketidakpastian agenda reformasi.
Kedua, Komisi Konstitusi yang diharapkan sebagai institusi yang diberi wewenang penuh dan tuntas menyusun draft konstitusi yang komprehensif dan tuntas masih belum jelas benar nasibnya. Keengganan para anggota MPR untuk menetapkan perlunya dibentuk Komisi Konstitusi untuk menyusun undang-undang dasar baru antara lain berdasarkan alasan bahwa perubahan UUD harus dilakukan MPR. Kekhawatiran itu tidak perlu, sebab tugas Komisi hanya menyusun draft, mengkonsultasikan serta membuka perdebatan dalam masyarakat secara luas. Sosialisasi dan debat publik yang luas amat diperlukan mengingat konstitusi merupakan sarana hukum untuk mengonsolidasikan sekaligus menata kekuasaan dalam struktur ketatanegaraan.
Bahkan konstitusi harus mengatur pula kekuatan-kekuatan masyarakat yang berkompetisi memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan dapat dilakukan secara damai dan beradab. Sementara itu kewenangan menetapkan UUD tetap pada MPR, namun dalam kasus ini bila MPR tidak bersedia mengesahkan draf hasil Komisi yang telah diperdebatkan dan disosialisasikan secara luas, perlu diselenggarakan referendum untuk menentukan apakah draf itu ditolak atau tetap disahkan.
Ketiga, meski disadari sepenuhnya MPR adalah lembaga politik yang penuh dengan tawar-menawar dan perbedaan kepentingan, tetapi pembentukan Fraksi Utusan Daerah terasa terlalu dipaksakan. Bila acuannya adalah UUD 1945, sebenarnya secara politis tidak terlalu valid lagi mengingat UUD 1945 sudah dianggap tidak relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman, dan karena itu dilakukan perubahan- perubahan secara mendasar. Kelemahan yang paling pokok dari UUD 1945 adalah bunyi pasal-pasalnya dapat ditafsirkan sesuai selera dan kepentingan siapa saja.
Oleh karena itu, desakan pembentukan Fraksi Utusan Daerah menunjukkan, sebagian anggota MPR kedap terhadap tuntutan rakyat yang telah menganggap MPR sebagai lembaga tertinggi negara melakukan reduksi dan absorbsi kedaulatan rakyat. Bila alasannya untuk lebih memperjuangkan nasib daerah, hal itu selalu dapat dilakukan melalui fraksi masing-masing.
Bahkan bila bersedia sedikit sabar, mereka yang benar-benar secara jujur ingin berjuang untuk kepentingan daerah, dapat dilakukan melalui suatu sistem perwakilan yang secara khusus memperhatikan daerah dengan nama Dewan Perwakilan Daerah. Dengan demikian, Sidang Tahunan MPR 2001 melalui pembentukan Fraksi Utusan Daerah mencerminkan, sebagian anggota MPR masih lebih mementingkan simbol daripada substansi.
Keempat, ketetapan mengenai Etika Kehidupan Berbangsa dirasakan sebagai ketetapan yang menggelikan. Dalam iklim yang penuh dengan kemunafikan, etika berbangsa tidak akan lebih baik bila hanya mengandalkan rumusan dan kemasan kata-kata bagus yang diproduksi Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kata-kata yang dirangkai dalam ketetepan lembaga tertinggi itu justru dikhawatirkan akan menjadi sumber baru legitimasi kemunafikan bila sikap dan perilaku elite politik, terutama anggota MPR, DPR, dan DPRD yang terhormat tidak memberi teladan kepada masyarakat.
Republik yang sudah penuh dengan kemunafikan ini akan bertambah parah bila penegakan moralitas dan etika tanpa disertai prinsip satunya kata dengan perbuatan para elitenya. Padahal, mengharapkan keteladan para anggota elite politik dewasa ini, berdasarkan pengamatan beberapa tahunterakhir ini, antara lain melalui adegan “adu jotos” beberapa anggota MPR awal ST MPR 2001, tampaknya masih sulit diharapkan. Mungkin dalam kaitan ini perlu diingat pengalaman rezim Orde Baru dalam membangun moral Pancasila dengan indoktrinasi.
Hasilnya adalah merajalelanya sikap hipokrit dari para penguasa yang merambah ke masyarakat luas. Sebab, pada waktu itu inti ajaran para penguasa adalah ikuti kata-kataku tetapi jangan ikuti perbuatanku. Karena itu, bila hendak membangun etika berbangsa, jangankan Ketetapapan MPR; Pancasila pun tidak mempan. Akibatnya, dewasa ini sudah makin jarang Pancasila disebut rakyat karena teralu lama Pancasila disalahgunakan oleh mereka yang mengaku pemimpin rakyat.
Kelima, sementara itu ketetapan-keketapan MPR lainnya, seperti ketetapan yang menyangkut tugas lembaga-lembaga negara, pemberantasan KKN, masih membutuhkan perjalanan panjang. Ambil saja pemberantasan KKN. Bagaimana penyakit laknat (atau mengikuti istilah Presiden Mega: Pencuri artinya membersihkan maling-maling uang negara) yang telah menghancurkan bangsa ini dapat dilakukan bila institusi penegakkan hukum sudah hancur.
Hal ini dapat dilihat secara kasatmata dalam kehidupan sehari-hari. Sedemikian banyak kasus yang diungkapkan masyarakat, antara lain melalui media massa, tetapi dapat dikatakan hampir tidak ada kasus yang terbongkar. Yang terjadi hampir setiap hari, para pajabat mulai dari Gubernur BI, Ketua DPR, hakim agung, mantan presiden, mantan menteri, sampai anak presiden, menantu presiden, penguasa dan bekas pengusaha dan sejumlah orang yang dianggap terhormat, hilir mudik di kantor polisi atau kejaksaan tanpa ada hasil akhir yang jelas. Rakyat justru makin frutrasi karena sehari-hari masih melihat oknum-oknum pejabat publik yang jumlahnya banyak sekali menikmati hidup berlimpah yang amat jauh dari pendapatan resminya.
Meski demikian, agar dalam memahami Sidang Tahunan MPR 2001 lebih proporsional, perlu lebih dahulu disadari, bangsa Indonesia dewasa ini sedang memasuki masa pembelajaran dan eksperimental dalam mengelola kekuasaan. Dikatakan suatu pembelajaran, karena lebih dari 50 tahun merdeka rakyat sebagai pemegang kedaulatan, tidak pernah ikut terlibat dalam manajemen kekuasan. Disebut eksperimental, karena bangsa ini harus berani melalukan eksperimen-eksperimen untuk menemukan system pengelolaan kekuasan yang sesuai perkembangan sikap, perilaku dan budaya masyarakat tanpa harus meninggalkan komitmen untuk mewujudkan demokrasi yang universal. Dalam melakukan eksperimen, bangsa ini harus memperhitungkan risiko sekecil-kecilnya agar eksperimen tidak sekadar untuk eksperimen tetapi untuk suatu perubahan ke arah lebih baik.
Akhirnya, dengan segala kekurangan yang menyebabkan masyarakat kecewa atas hasil Sidang Tahunan MPR 2001, peristiwa itu telah member pelajaran amat baik bagi bangsa ini untuk melatih diri lebih ulet dalam menjalani proses mewujudkan demokrasi. Kesadaran akan rumitnya mengelola kekuasaan perlu dipahami dengan baik mengingat kekuasan yang mempunyai watak koruptif (berasal dari kata corruptus latin berarti merusak, dan bukan hanya mencuri duit negara), akan mengakibatkan siapa pun yang terlibat proses manajemen kekuasaan akan mempunyai kecenderungan merusak bilamana tidak ada pengawasan efektif.
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 12 November 2001.