Oleh : J Kristiadi
PERJALANAN panjang Konvensi Golkar, yang penuh persaingan ketat dan mungkin disertai intrik-intrik politik, telah berakhir dengan hasil yang amat spektakuler. Wiranto, tokoh di luar Golkar, telah memenangi konvensi Partai Golkar, mengalahkan Akbar Tandjung, seorang tokoh dan Ketua Umum Partai Golkar, yang oleh sementara kalangan dianggap penyelamat Golkar.
Tidak hanya itu, Akbar Tandjung juga masih mampu menjadikan Partai Golkar sebagai kekuatan politik yang memperoleh jumlah suara cukup signifikan dalam Pemilu 1999 dan 2004.
KEMENANGAN Wiranto dalam konvensi menimbulkan pertanyaan. Bila dicermati, kemenangan Wiranto dapat dilihat pada putaran pertama. Pada putaran itu ia hanya dikalahkan Akbar Tandjung 10 suara yang sebagian diperoleh berkat sistem voting block, terutama hak suara DPP Golkar sebanyak 18 suara.
Sementara itu, kekalahan Akbar Tandjung pada putaran kedua cukup telak, 88 suara. Bila dicermati, dukungan kepada Wiranto 315 suara diperoleh dari DPD tingkat kabupaten/kota dan sejumlah DPD tingkat provinsi. Sementara Akbar Tandjung meraih 227 suara, diperoleh dari DPP dan DPD provinsi serta sebagian DPD tingkat kabupatem/kota. Dapat dikatakan dukungan Wiranto lebih banyak di grass root, sedangkan Akbar Tandjung di tingkat lebih elite. Hal ini dianggap pengaruh Wiranto lebih mengakar daripada Akbar Tandjung.
Sementara itu, kemenangan Wiranto sendiri mungkin dapat diberikan melalui beberapa penjelasan sebagai berikut. Pertama, sistem voting block, baik di tingkat DPP maupun DPD provinsi, oleh banyak pengurus di DPD tingkat kabupaten/kota dianggap sebagai sikap diskriminatif. Mereka menganggap hal itu sebagai ketidakadilan yang dilakukan DPP Golkar, secara lebih khusus ketua umum. Selain itu, diperkirakan para pengurus DPD tingkat kabupaten/kota lebih peka terhadap suasana hati masyarakat yang kemungkinan para pemilih Partai Golkar belum tentu memilih Akbar Tandjung pada pemilu presiden 5 Juli.
Oleh karena itu, pada putaran kedua tampaknya para pengurus DPD kabupaten/kota memperhitungkan benar-benar dalam menentukan pilihan karena menyangkut masa depan organisasi. Kalau sudah begini, biasanya yang dijadikan perhitungan adalah kalkulasi jangka panjang dan mendengarkan nurani.
Kedua, pidato Akbar Tandjung dianggap membuat sakit hati peserta lain karena mengatakan, satu-satunya orang yang tampil saat Golkar mengalami kesulitan hanyalah dirinya. (The Jakarta Post, 21/4/2004). Meski Akbar Tandjung tidak menyebut nama, hal itu dianggap menyindir peserta konvensi yang bukan berasal dari Partai Golkar.
Ketiga, tampaknya tim sukses Akbar Tandjung terlalu percaya diri dan bersemangat sehingga menimbulkan kesan di antara sesama mereka adanya perasaan in-group dan out-group yang mengakibatkan kelompok yang merasa out-group tidak sepenuhnya mendukung Akbar Tandjung.
Keempat, kampanye Wiranto yang sederhana dianggap memenuhi tuntutan dan kehausan masyarakat mengenai kebutuhan dasarnya, yaitu menjanjikan kesejahteraan, rasa aman, dan ketertiban.
Sebagai pemenang Konvensi, Wiranto mempunyai banyak tugas berat. Tidak hanya tugas memenangi kompetisi merebut kursi presiden, tetapi juga bagaimana memenuhi komitmennya untuk berjuang bagi kepentingan rakyat.
Selain itu adalah tugas berat dari godaan kekuasaan. Godaan orang yang berkuasa jauh lebih berat daripada perjuangan untuk berkuasa. Biasanya sebelum berkuasa lebih mudah menentukan siapa teman sejati dan siapa bukan teman sejati. Tetapi setelah hampir berkuasa, atau setelah berkuasa, membedakan hal itu tidak terlalu mudah. Mungkin pelajaran dari masa Pak Harto amat berguna untuk dijadikan pelajaran bagi Jenderal (Purn) TNI Wiranto yang mempunyai pengalaman dekat dengannya. Hal itu terutama bila dikaitkan dengan susunan kabinet yang akan dijual kepada masyarakat, sebaiknya dipilih dari mereka yang tidak saja ramah terhadap dunia bisnis, tetapi juga mempunyai kemampuan mewujudkan janji-janji yang sudah ditebarkan diseantero Nusantara ini.
BERAKHIRNYA konvensi juga telah mengakhiri kontroversi mengenai konvensi yang sejak awal dicurigai sebagai sekadar agenda subyektif Golkar dan ketua umumnya. Meski kecurigaan itu juga ada dasarnya, mengingat perubahan tata tertib yang kadang muncul mendadak serta ketidakkonsistennya ucapan Ketua umum Partai Golkar, misalnya kesediaannya menjadi wakil presiden.
Sementara itu, konvensi jelas-jelas diadakan untuk pemilihan presiden. Bahkan tidak hanya itu, konvensi Partai Golkar telah dapat menyumbangkan tingkat kredibilitas Partai Golkar, khususnya dengan pernyataan Akbar Tandjung yang secara langsung dapat menerima kekalahan dan siap untuk mendukung Wiranto menjadi Presiden RI.
Bahkan sebagai ketua umum memerintahkan seluruh kader Golkar untuk mendukung keberhasilan Wiranto pada pemilihan presiden tanggal 5 Juli. Sikap arif ketua umum adalah sikap seorang negarawan yang perlu diberikan penghargaan.
Terakhir, inilah kesempatan Wiranto mewujudkan semua janji-janji. Rakyat amat menunggu bukti dan bukan janji-janji kosong. Momentum ini juga merupakan kesempatan Wiranto untuk menorehkan tinta emas dalam sejarah Republik Indonesia bila dapat meletakkan dasar-dasar dan kepercayaan bagi rakyat apa itu manfaat reformasi. Ingat, waktu yang tersedia hanya lima tahun, sesuai janji Jenderal TNI (Purn) saat kampanye.
Tulisan ini ingin diakhiri dengan menyampaikan pesan, kalau memang Wiranto berhasil menjadi presiden, saya kira amat penting untuk menorehkan tinta emas dalam catatan sejarah politik Indonesia.
Perjalanan masih panjang dan jangan girang-girang gumuyu lebih dulu. Agenda lain adalah menjelaskan masalah-masalah berkenaan dengan hak asasi manusia, tetapi diperkirakan bila pemilihan presiden dilakukan secara demokratis, pemerintah mana pun akan menerima kenyataan seperti itu.
Sementara itu, bila ada elemen-elemen dari masyarakat internasional yang mempersoalkan, Wiranto sebagai presiden bisa mendapatkan kesempatan lebih luas dan secara jujur menjelaskan kepada masyarakat internasional.
Tugas berat adalah membuktikan janji yang sudah ditebar di mana-mana dan dicatat rakyat, terutama para pendukung dan pemilihnya.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 22 April 2004.