Oleh : J Kristiadi
KEMAJUAN prosedural dari proses demokratisasi yang telah berlangsung selama lebih kurang lima tahun adalah pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat yang akan dilaksanakan Juli 2004. Melalui sistem itu diharapkan akan mengurangi praktik- praktik politik manipulatif-akrobatik, perselingkuhan, atau persekongkolan kepentingan di antara partai-partai, dagang sapi politik, serta segala bentuk dan manifestasi pengkhianatan terhadap mandat rakyat yang dipercayakan kepada para elite politiknya.
Selain, pemilihan presiden langsung, setidaknya pasca-Pemilu 2004, diharapkan dapat menghasilkan presiden dan wakil presiden yang mempunyai tingkat kualitas komitmen yang tinggi dan konsisten terhadap aspirasi dan penderitaan rakyat.
Hal itu tidak hanya diungkapkan secara retorik, melainkan harus diwujudkan dalam kehidupan nyata. Syukur-syukur, selain memenuhi kriteria tersebut, dapat diperoleh presiden dan wakil presiden yang juga mempunyai kemampuan dan keterampilan serta kompetensi menangani masalah multikompleks yang dihadapi bangsa ini. Harapan tersebut wajar, mengingat masyarakat yang telah lama mengalami penderitaan dalam kehidupan sehari-hari, munculnya kembali impian datangnya Ratu Adil yang tidak saja mempunyai penampilan fisik yang memesona, tetapi juga mampu menyelesaikan kemelut bangsa ini dengan cepat.
Namun, di sisi lain, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung juga telah membuka peluang yang cukup luas bagi anggota masyarakat untuk mencalonkan diri atau mencalonkan orang lain, sejauh aturan memungkinkan, menjadi presiden. Meskipun sebenarnya keleluasaan tersebut telah direduksi dengan ketentuan yang membatasi bahwa pencalonan presiden dan wakil presiden hanya boleh dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Sistem pemilihan baru tersebut juga telah merangsang beberapa tokoh politik dan masyarakat secara beramai-ramai mencalonkan diri sebagai presiden. Mulai dari mereka yang baru menjajaki tingkat akseptabilitas karena keterlibatan mereka dengan peristiwa-peristiwa politik masa lalu sampai dengan mereka yang berani berjibaku atas nama panggilan suci untuk menyelamatkan negara dan bangsa yang dirundung malapetaka.
Mencermati proses pencalonan itu sendiri memang cukup menarik untuk dijadikan tontonan. Sebab, selain muncul tokoh-tokoh sangat baik, sedemikian baiknya sehingga semua orang dianggap sama baiknya dengan yang bersangkutan, muncul pula tokoh-tokoh kontroversial yang tidak begitu mudah meyakinkan masyarakat bahwa mereka cukup pantas menjadi presiden yang ideal.
Sebagian besar kandidat bukan seperti calon ratu kecantikan yang nyaris sempurna, yang dapat membetot sukma bagi siapa pun yang melihatnya. Akan tetapi, mereka adalah orang-orang biasa yang sebagian masih sibuk untuk meyakinkan masyarakat tentang konsistensinya sebagai tokoh pluralis. Sebagian lagi mungkin akan sibuk menjelaskan bagaimana menghubungkan persyaratan tidak tercela dengan pemecatannya oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) karena kasus penculikan mahasiswa.
Ada lagi yang sibuk dengan urusan status terpidana, ada pula yang masih sibuk karena tuduhan keterlibatannya dalam pelanggaran hak-hak asasi manusia, dan lain sebagainya. Dengan demikian, memang, pemilihan presiden langsung kali ini tampaknya harus diterima dengan lapang dada dengan banyak kandidat yang dapat dianggap bermasalah.
Akan tetapi, itulah demokrasi, lebih-lebih demokrasi yang sedang akan dikembangkan selalu dapat menghasilkan sesuatu tidak ideal sebagaimana diimpikan oleh masyarakatnya sendiri.
Ini bahkan berlaku pula di negara-negara yang telah mapan demokrasinya; bahwa pemilihan pejabat publik tidak dapat dijamin menghasilkan tokoh yang mirip malaikat. Oleh karena tidak mustahil negara yang dianggap menjadi model demokrasi (Amerika) dapat menghasilkan orang-orang biasa, seperti petani kacang (Jimmy Carter), bintang film (Ronald Reagan), dan “tukang” perang (George W Bush). Namun, kalau untuk dapat juga tokoh-tokoh besar seperti Lincoln, Roosevelt, George Washington, dan JF Kennedy.
Jadi, dalam demokrasi, lebih-lebih dalam demokrasi yang sedang pada tataran prosedural, munculnya tokoh-tokoh yang kontroversial dapat tampil di permukaan. Bahkan, tidak mustahil akan menjadi presiden atau wakil presiden beneran. Lebih-lebih kalau regulasinya hanya sekadar resultante dari tukar-menukar kepentingan politik dari partai politik yang masing-masing punya kandidat presiden. Misalnya, pertukaran antara kandidat presiden yang dipermasalahkan kesehatannya dan calon lain yang mengalami kesulitan mendapatkan ijazah sarjana maupun calon yang mempunyai status terpidana.
Lalu, apa yang dapat diharapkan dari pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2004, selain tontonan yang mendebarkan karena diduga akan terjadi lagi akrobat politik. Tampaknya terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan pelajaran dari proses pemilihan yang sekarang ini sedang berlangsung.
Pertama, bahwa pemilihan presiden kali ini merupakan proses pendidikan politik masyarakat dalam mempraktikkan kompetensi perebutan pengaruh dan kekuasaan dengan cara yang adil, jujur, dan beradab. Praktik semacam ini harus dilakukan dalam waktu yang lama sehingga dapat melembaga sebagai proses politik.
Kedua, oleh karena itu yang sangat diperlukan adalah pendidikan untuk mencerdaskan masyarakat agar masyarakat dapat menentukan pilihan yang paling baik bagi dirinya. Kalau perlu dibantu tokoh- tokoh LSM dengan menerbitkan semacam Buku Politisi Terkutuk, seperti diterbitkan di Korea Selatan, agar masyarakat lebih mudah dalam menyeleksi para elitenya.
Ketiga, pemilihan pejabat publik atau parlemen, khususnya presiden dalam alam demokrasi, sering kali tidak menghasilkan tokoh idola yang diimpikan masyarakat sebagaimana ukuran-ukuran kesempurnaan bagi calon ratu kecantikan. Karena pilihan politik kadang-kadang bukan memilih yang terbaik dari calon-calon yang baik, tetapi memilih calon-calon yang kurang buruknya dari kandidat yang lebih buruk. Jadi, kontes pemilihan presiden memang bukan pemilihan ratu kecantikan yang diharapkan mempunyai ukuran-ukuran yang harus mendekati kesempurnaan seorang dewi.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 31 Agustus 2003.