Oleh : J Kristiadi
PEMILIHAN presiden dan wakil presiden tahap kedua yang dilaksanakan hari Senin (20/9) ini akan melengkapi proses pemilihan presiden secara langsung yang telah berjalan beberapa bulan. Suatu langkah awal dari sebuah investasi politik jangka panjang bagi rakyat dan bangsa Indonesia dalam membangun lembaga-lembaga politik dan kebiasaan memilih calon pemimpinnya.
Meski baru langkah awal, tetapi merupakan loncatan amat besar bagi bangsa Indonesia, mengingat masalah memilih pemimpin bagi rakyat Indonesia adalah suatu kemewahan. Hal itu dapat dilihat bila menengok sejarah Indonesia pascakemerdekaan.
SEORANG pemimpin nasional di Indonesia selalu muncul melalui revolusi atau krisis politik yang taruhannya adalah eksistensi dan kelangsungan kehidupan bangsa.
Contoh, Bung Karno muncul sebagai pemimpin besar bangsa Indonesia karena produk revolusi fisik dan politik selama bangsa Indonesia merebut dan mempertahankan kedaulatan. Dekade berikutnya, pertengahan 1960-an, dipicu tragedi politik 1965 (G30S), mengakibatkan perang saudara yang menelan korban ratusan ribu orang meninggal dunia.
Dalam situasi kritis seperti itu muncul Soeharto sebagai pemimpin yang dianggap dapat menyelamatkan bangsa, lalu diangkat menjadi presiden dan berkuasa lebih dari tiga puluh tahun.
Selama Soeharto memerintah, secara pelan tetapi sistematis, hak- hak politik rakyat, khususnya hak untuk memilih pemimpinnya sendiri, dimatikan. Rakyat harus memilih pemimpin yang telah diseleksi, setidaknya yang telah direstui penguasa. Selama periode ini proses perekrutan kepemimpinan dikontrol sepenuhnya oleh penguasa.
Hampir dapat dikatakan, tidak satu pun organisasi masyarakat, termasuk organisasi mahasiswa, tidak dikontrol mekanisme politik penguasa. Dengan demikian, munculnya pemimpin hanya dari lembaga-lembaga negara, seperti lembaga pendidikan militer dan birokrasi, pseudo partai politik (Golkar), atau pemimpin yang tunduk oleh kemauan negara. Sistem politik yang korporatis dan represif itulah yang menjadikan sumber krisis kepemimpinan di Indonesia selama ini.
Akibatnya, mentalitas hubungan patronase yang paternalistik antara pemimpin dan rakyat nyaris jadi hubungan seperti raja dan hamba. Tak ada lagi daulat rakyat, yang terjadi adalah daulat raja.
Manunggaling kawula lan Gusti, mungkin pada awalnya secara filosofis dimaksudkan sebagai kemampuan pimpinan yang peka terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat, telah dipraktikkan sebaliknya dalam arti kemauan rakyat ditentukan kehendak raja atau penguasa (presiden). Mentalitas rakyat benar-benar telah dihancurkan menjadi mental seorang hamba. Lebih-lebih wacana ratu adil, satria piningit, dan sebagainya menjadikan kultur politik pada masa itu benar-benar menjadi kultur sebuah kerajaan berwajah republik.
Latar belakang historis seperti itu yang mungkin mendorong The Economist (10-16 Juli 2004) dalam tajuknya memuji Indonesia habis- habisan. Pasalnya, negara yang baru saja menikmati demokrasi sekitar enam tahun serta pernah mengalami konflik etnis dan religius yang serius di beberapa daerah berhasil menggelar pemilihan presiden langsung tahap pertama.
Dikatakan, dalam proses pemilihan ada semangat moderasi yang antara lain disampaikan Megawati yang masih mempunyai potensi menang dengan mengatakan, siapa pun yang menang secara jujur harus diterima.
Keberhasilan Indonesia menyelenggarakan pemilu membantah anggapan sementara kalangan, khususnya pendapat negara-negara barat, bahwa Negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, kecuali negara-negara tertentu seperti Malaysia dan Turki, tidak mudah menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis. Demikian pula argumentasi dari Pemerintah China yang mengatakan demokrasi tidak berjalan dalam masyarakat yang miskin.
Pengalaman demokratis di Indonesia telah mematahkan keraguan mereka, diperkuat kenyataan terjadi proses pemilu 5 Juli lalu. Maka, tajuk itu ditutup dengan mengatakan, negara Indonesia sebagai negara polyglot (multibahasa) dan bekas jajahan Belanda selama tiga setengah abad telah memberi dunia a powerful counter example (contoh yang ampuh terhadap argumentasi mereka) bagi penyelenggaraan demokrasi.
NAMUN, bagi bangsa Indonesia masih ada agenda amat penting dalam menyikapi pemilihan presiden dewasa ini. Agenda itu adalah mengubah paradigma berpikir, presiden adalah orang biasa, bukan orang luar biasa. Cara berpikir masyarakat itu dapat dipahami karena proses reformasi yang telah dibajak elite dan kultur yang masih paternalistik mengakibatkan rakyat amat berharap presiden mendatang adalah yang mampu segera mengatasi berbagai persoalan yang kian mengimpit kehidupan rakyat.
Bayang-bayang datangnya ratu adil atau munculnya satrio piningit yang menjadi juru selamat bangsa sudah akan tiba waktunya. Impian semacam itu wajar karena secara obyektif transformasi politik yang terjadi kini amat membutuhkan seorang calon pemimpin yang transformatif. Pemimpin yang dapat mengambil inisiatif dan memobilisasi serta memberi motivasi mengikuti perubahan. Pemimpin yang tidak hanya memerintah, tetapi yang dapat memberi inspirasi bagi rakyatnya.
Dalam situasi transisional seperti sekarang, peran seorang pemimpin amat besar karena perubahan yang terjadi bukan dalam arti change tetapi transform. Artinya, apa yang terjadi bukan sekadar perubahan bentuk, tetapi juga perubahan substansi yang menyangkut nilai, hakikat, dan karakter bangsa. Ibarat perubahan seekor katak menjadi pangeran.
Kultur semacam itulah yang mulai sekarang harus dihilangkan. Keberhasilan secara prosedural dalam melakukan pemilihan presiden langsung tahap pertama harus diikuti mengubah paradigma berpikir bahwa presiden bukan orang setengah dewa yang sanggup menyelesaikan semua persoalan sekaligus. Presiden adalah junjungan atau bandoro yang karena privilesenya harus diperlakukan sebagai tuan besar.
Sikap semacam itu harus diubah. Justru dengan keberhasilan pemilihan presiden, rakyat harus sadar bahwa presiden dalam alam demokrasi adalah pelayan rakyat yang dapat memperoleh kekuasaan karena diberi mandat dan kepercayaan oleh rakyat. Lebih-lebih semua orang tahu, kedua pasangan calon presiden yang kini berkompetisi adalah yang pernah bersama-sama memimpin negara selama lebih kurang tiga tahun, tetapi tidak berhasil meyakinkan masyarakat bahwa mereka adalah pilihan ideal. Apalagi persoalan yang dihadapi bangsa ini amat besar dan rumit, terutama akibat perilaku elite politik (masyarakat politik) yang amat berorientasi kepada kepentingan subyektif, yaitu berburu dan mengakumulasi kekuasaan.
Oleh karena itu, meski pemilihan presiden itu penting karena merupakan bagian demokrasi, tetapi nasib bangsa harus ditentukan rakyat sendiri. Nasib bangsa tidak dapat hanya diserahkan kepada elite politik. Jangan pernah menyerahkan perjalanan proses reformasi hanya kepada elite politik.
Masyarakat sipil harus terus mengawasi dan memberi tekanan agar agenda ke depan adalah agenda rakyat. Sebab, meski mereka adalah orang-orang yang berada di lapisan elite politik dan dipilih secara demokratis oleh rakyat, tetapi pengalaman menunjukkan, kalau mandat yang dipercayakan kepada mereka tidak dikontrol, kecenderungan menyalahgunakan kekuasaan amat besar.
Dengan demikian, masa depan bangsa hanya akan lebih baik bila masyarakat sipil diperkuat dan lebih berperan terhadap proses perkembangan dan arah reformasi. Masyarakat sipil harus berjuang keras demi masa depan yang lebih baik dengan menyelamatkan proses reformasi yang kini berlangsung.
Misalnya, masyarakat sipil perlu melakukan konsolidasi ideologi dan jaringan sehingga efek gerakan akan lebih besar. Antara lain memperkuat hak-hak petani akan amat besar efeknya bila ideologi gerakan berhasil merumuskan isu sentral yang dapat mencakup kepentingan seluruh petani Indonesia.
Konsolidasi jaringan akan membuat daya tawar gerakan lebih besar bila berhadapan dengan negara. Dalam hal ini hubungan dan komunikasi antara pusat dan daerah amat diperlukan. Selain itu, pengorganisasian konstituensi berbasis kepentingan dan organisasi massa, seperti buruh, tani, nelayan, perlu dilakukan.
Oleh karena itu, pelayan atau abdi masyarakat tidak perlu menjadi ideal sekali sebagaimana impian masyarakat untuk memperoleh ratu adil, munculnya satria piningit, dan sebagainya. Tugas pelayan adalah melaksanakan apa yang ditugaskan tuannya (rakyat).
Daulat raja harus diganti dengan daulat rakyat. Karena yang dipilih adalah pelayan, hal yang perlu diperhartikan adalah calon presiden dan wakil presiden harus mempunyai keterampilan, tidak suka mencuri, mengerti sopan santun, dan melakukan kehendak rakyat. Akan tetapi, karena ia adalah pelayan besar dan kadang harus mewakili bangsa bergaul dengan bangsa lain, ia juga harus diberi hak-hak dan kehormatan untuk menjaga martabat bangsa. Itu semua datangnya dari rakyat.
Konsekuensinya, ia harus dapat membawa diri dengan pantas untuk mengatasnamakan bangsa dan negara. Karena itu, yang amat diperlukan adalah siapa pun yang terpilih menjadi presiden, masyarakat harus mampu membangun kekuatan yang dapat menjaga agar sang abdi rakyat itu benar-benar melaksanakan tugasnya dengan baik. Selamat memilih pelayan rakyat.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 20 September 2004