Oleh : J Kristiadi
SANGAT sedih dan prihatin mencermati manajemen dan kinerja yang dilakukan pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Selama lebih kurang setahun, pemerintahan Kabinet Gotong Royong selain telah kehilangan momentum dukungan publik, cara kerjanya tidak dapat menyembunyikan kegamangan, ketidaktegasan, ketidakpekaan, kebingungan, dan terkesan amatiran. Misalnya, kebijakan akhir-akhir ini yang dirasakan tidak tegas dan tidak adil adalah kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Ketidakpastian mengenai kapan dan berapa kenaikan harga BBM telah menjadi makanan empuk spekulator ekonomi untuk menaikkan harga kebutuhan pokok.
Kenaikan harga BBM yang menurut kalkulasi ekonomis dapat dipahami dan dipertanggungjawabkan, tetapi dirasakan menusuk rasa keadilan rakyat karena hampir jatuh bersamaan dengan kebijakan perpanjangan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Suatu kebijakan yang dianggap memberikan kesempatan bagi para debitor yang terbukti tidak mempunyai itikad baik untuk merampok lagi uang rakyat. Atau dalam kalimat yang lebih lugas dari Amien Rais, “Konglomerat hitam yang sudah menjarah negeri ini, jika diberi kesempatan 10 tahun lagi akan menjarah lagi, mereka akan melakukan kejahatan serupa.” (Republika, 21/1/2002)
Belum lagi kontroversi kebijakaan kenaikan BBM dan kebijakan kelonggaran para penjarah uang rakyat berakhir, muncul lagi kebijakan baru yang pasti akan menimbulkan polemik dan kontroversi yang akan semakin menggerogoti kepercayan rakyat terhadap pemerintahan Megawati. Kebijakan tersebut adalah pembentukan Kodam di Nanggroe Aceh Darussa-lam. Dari sudut apa pun kebijakan tersebut sangat sulit dipahami, karena alas an pokok sebagai berikut. Pembentukan teritori semacam itu bertentangan dengan tugas pokok TNI sebagaimana disebutkan dalam Ketetapan (Tap) MPR No VII/MPR/2001 yang menegaskan bahwa TNI sebagai alat pertahanan mempunyai tugas pokok sebagai berikut: menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Ketetapan tersebut mengandung pengertian substansial sebagai berikut: (1) dalam menghadapi ancaman militer, TNI adalah komponen utama yang didukung oleh komponen cadangan dan komponen lainnya; (2) dalam menghadapi ancaman nonmiliter, lembaga pemerintahan di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi, dengan didukung unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa. Dengan demikian, setiap pengorganisasian TNI sebagai alat pertahanan harus didasarkan atas tanggung jawab wilayah pertahanan sesuai dengan kadar dan derajat ancaman militer asing.
Pengorganisasian militer dalam bentuk sebagaimana sekarang ini harus dirombak atas dasar prinsip-prinsip yang telah dituangkan dalam ketetapan MPR maupun Undang-Undang (UU) Pertahanan. Jelasnya, pengorganisasian TNI sebagai alat pertahanan yang berimpit dengan wilayah administrasi pemerintahan harus dibongkar, karena bertentangan dengan Tap MPR dan UU Pertahanan. Selain itu, pengorganisasian semacam itu sangat boros, karena mempunyai banyak struktur, tetapi miskin fungsi. Dalam situasi ekonomi rakyat dan negara yang kembang-kempis, setiap penataan lembaga sipil dan militer sebaiknya memperhatikan anggaran belanja yang yang sangat mepet ini. Selain itu, nama Kodam sendiri sudah sedemikian traumatik bagi masyarakat pada umumnya, karena telah disalahgunakan sebagai alat represi penguasa dalam waktu yang sedemikian lama.
Oleh sebab itu, pembentukan teritori militer yang didasarkan atas wilayah pemerintahan harus dihapuskan dari pemikiran setiap pembuat kebijakan. Sekiranya ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan efektivitas gelar pasukan karena meningkatnya (umpamanya) perlawanan bersenjata di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam, pengorganisasian TNI bukan dalam bentuk Kodam. Peningkatan efektivitas dapat dilakukan dengan membentuk satuan komando yang menggabungkan dua Korem yang sudah ada, yaitu Korem Lilawangsa dan Korem Teuku Umar. Sementara itu, pengorganisasian TNI yang lebih permanen di wilayah itu harus pertama- tama didasarkan atas pemahaman secara menyeluruh mengenai strategi pertahanan dan keamanan nasional. Tentu saja harus pula mempertimbangkan hal-hal khusus yang berkaitan dengan wilayah Nanggroe Aceh Darussalam dan sekitarnya. Misalnya, mempertimbangakan letak geografis, mengingat wilayah tersebut berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat dikenal dengan maraknya perompakan, penyelundupan senjata api, imigran gelap, narkoba, dan lain-lain.
Oleh sebab itu, pengorganisasian teritori di wilayah itu harus mempertimbangkan kerawanan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) serta meningkatkan kemampuan pengamatan udara (air surveillance) dan pengintaian (reconnaissance).
Sebagai cacatan penutup, ingin disampaikan bahwa pembentukan Kodam di Nanggroe Aceh Darussalam yang konon kabarnya diusulkan oleh gubernur serta tokoh-tokoh setempat, sebenarnya adalah pucuk gunung es dari hegemoni kesadaran militeristik para politisi. Mungkin disebabkan tidak mempunyai referensi lain, maka untuk lebih mudahnya mengatasi masalah gangguan keamanan, obat paling mujarab yang diketahui adalah minta bantuan militer. Salah satu bentuknya adalah membentuk Kodam, Korem, atau Kodim, atau mungkin unit sejenis yang lebih kecil lagi ruang lingkupnya.
Kalau kesadaran (mungkin lebih tepatnya ketidaksadaran) sipil semacam ini terus terjadi, dikhawatirkan proses transisi politik menuju demokrasi hanya akan mengembalikan peran politik militer. Suatu pengalaman pahit yang oleh TNI kini mulai ditinggalkan. Oleh sebab itu, sekiranya Markas Besar TNI diminta untuk membangun Kodam, Korem, dan Kodim baru yang tidak didasarkan atas strategi pertahanan dan keamanan, sebaiknya ditolak, karena hal itu hanya akan menggerogoti kredibilitas TNI yang dewasa ini sedang dibangun. Godaan semacam itu kalau dituruti hanya akan memberikan kenikmatan sejenak, tetapi akan membawa akibat yang menyakitkan dalam jangka panjang. []
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 24 Januari 2002.