Oleh : J Kristiadi
SELAMA ini, sosok kepala desa digambarkan sebagai pemimpin masyarakat yang lugu, sederhana, sabar, nrima (tidak banyak menuntut), dan ciri-ciri lain yang mencitrakan mereka adalah pamong yang patuh kepada atasan, dekat dengan rakyat, dan bersedia bekerja keras untuk rakyat.
Namun, beberapa bulan terakhir ini mereka “gerah”, perlu ke Jakarta menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa serta merevisi Undang-Undang (UU) 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mereka “mengancam” akan menyabot kebijakan pemerintah bila tuntutannya tidak dikabulkan.
Politisasi Birokrasi
Salah satu tuntutan yang penting dicermati, kepala desa (kades) menuntut agar dapat menjadi pengurus partai politik (parpol). Tuntutan itu tampaknya dipengaruhi atmosfer, regulasi, dan praktik politik yang mendorong dan membenarkan pejabat pemerintah lebih tinggi-mulai pejabat di lembaga kepresidenan, menteri, gubernur, dan bupati/wali kota-berdwifungsi (menjadi pejabat pemerintah sekaligus pemimpin parpol).
Bahkan, dewasa ini ada kecenderungan seseorang yang berhasil menjadi pejabat atau berpotensi memenangkan pemilihan kepala daerah diincar parpol untuk ditawari menjadi pimpinan parpol sesuai jabatan di pemerintahan. Gejala politisasi birokrasi ini diperkuat gagasan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengusulkan agar pegawai negeri sipil (PNS) dapat menjadi pengurus parpol. Pertimbangannya, banyak kader parpol belum atau tidak paham kompleksitas manajemen pemerintahan sehingga perlu merekrut PNS sebagai kader atau pengurus parpol.
Apabila dibiarkan, hal ini akan merusak struktur kekuasaan demokrasi yang kini sedang dalam proses konsolidasi.
Mencampuradukkan pimpinan pemerintahan sekaligus pengurus parpol akan menjadikan birokrasi-yang seharusnya merupakan lembaga pelayanan rakyat sebagai medan pertarungan politik parpol. Akses parpol dalam birokrasi tidak dapat dilepaskan dari kian merebak dan maraknya politik uang dalam jagat perpolitikan di Indonesia.
Dengan menguasai birokrasi, parpol dapat menguasai sumber kekayaan negara guna membiayai kepentingan politik partai. Lebih- lebih jika politisasi birokrasi berlanjut hingga tingkat kades. Hal itu akan menghancurkan fondasi demokrasi karena proses politik, terutama kompetisi politik, mudah terjerumus ke dalam adu kekuatan untuk memperjuangkan kepentingan sempit parpol.
Dwifungsi kades akan makin berbahaya jika pertarungan pemilihan kades dikaitkan dengan patronase yang sifatnya primordial. Sebab, kompetisi politik yang seharusnya hanya pada tataran politik yang sifatnya rasional, misalnya didasarkan jumlah suara yang diperoleh kandidat, dapat berubah menjadi konflik komunal.
Hal itu amat mungkin terjadi mengingat konflik semacam itu akan melibatkan emosi masa karena yang dipertaruhkan adalah glorifikasi atau kebesaran identitas primordial, seperti suku, ras, golongan, dan agama. Konflik semacam itulah yang dapat menghancurkan bukan saja tatanan politik, tetapi juga bangsa. Karena itu, tuntutan para kades untuk menjadi pengurus parpol harus dipahami sebagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang selama ini rancu dan salah kaprah, yaitu bersatunya pimpinan partai politik dengan jabatan di pemerintahan.
Tindak Lanjut
Dalam konteks pembangun demokrasi yang sedang berlangsung, posisi kades sebagaimana diatur PP No 72/2005 sudah benar, yaitu mengatasi segala golongan yang justru harus dijadikan contoh oleh para pejabat pemerintah yang lebih tinggi. Kades adalah pimpinan yang tak seharusnya terkontaminasi kepentingan sempit parpol yang kadang pragmatik-oportunistik. Tuntutan kades harus ditindaklanjuti dengan peraturan perundangan yang lebih jelas dan tegas agar melarang pejabat pemerintah berdwifungsi, termasuk PNS harus bebas dari kepentingan parpol.
Selain itu, ada beberapa tuntutan yang perlu dicermati. Pertama, agar masa jabatan kades yang berdasar UU No 32/2004 berlaku enam tahun dan dapat dipilih kembali satu kali masa jabatan, diubah menjadi 10 tahun. Di satu pihak, tuntutan ini dapat dimengerti karena kades akan mempunyai waktu lebih untuk melaksanakan program- programnya tanpa dikejar waktu untuk bertanding dalam pemilihan kades berikut. Tetapi, di lain pihak, perpanjangan dari enam tahun menjadi 10 tahun dapat menimbulkan vested interest, lebih-lebih jika yang bersangkutan dapat bertahan sampai dua kali masa jabatan (20 tahun). Meski demikian, tuntutan itu dapat dipenuhi jika UU No 32/2004 yang mengatur ketentuan itu diubah.
Kedua, sekretaris desa diangkat oleh sekretaris daerah atas nama bupati/walikota diubah agar pengangkatan tetap menjadi wewenang bupati/wali kota dan diusulkan kades. Usulan ini masuk akal karena akan tercipta hubungan harmonis antara kades dan sekretaris desa.
Ketiga, seluruh perangkat desa agar diangkat menjadi PNS. Jika tuntutan itu dikabulkan, diharapkan akan memotivasi kerja mereka. Namun, pengangkatan harus mempertimbangkan standar persyaratan pengangkatan PNS seperti diatur dalam peraturan perundangan.
Keempat, bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota paling sedikit 10 persen diubah menjadi minimal 20 persen. Tuntutan ini dilatarbelakangi kebutuhan pemerintahan desa agar dapat menyusun program yang lebih banyak bagi kepentingan masyarakat. Namun, bagi daerah kabupaten/kota yang miskin, aspirasi itu akan membebani anggaran belanja daerah. Untuk itu, sebaiknya tuntutan itu dipertimbangan lebih cermat karena akan amat tergantung kebijakan setiap pemerintah kabupaten/kota.
Kelima, selain penghasilan tetap, penghasilan kades agar ditambah dengan tunjangan kekurangan penghasilan atau penyediaan tanah ganjaran/bengkok, tunjangan jaminan kesehatan dan tunjangan purna bakti/pensiun. Itu tuntutan wajar, tetapi juga harus mempertimbangkan keuangan daerah. Karena itu, paling tepat jika kebijakan itu diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota.
Kita bisa memahami tuntutan para kades. Bahkan, tuntutan menjadi pengurus parpol harus dijadikan momentum pelurusan atas para elite yang telah memanfaatkan jabatan bagi kepentingan parpol.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 05 April 2006.