Oleh : J Kristiadi
HEROES are selfless peoples who perform extraordinary acts. The mark of heroes is not necessarily the result of their action, but what they are willing to do for others and for their chosen cause. Even if they fail, their determination lives on for others to follow. Their glory lies not in the achievement, but in the sacrifice (Susilo Bambang Yudhoyono, Time, 10/10/2005).
Jika diterjemahkan bebas, kuotasi itu bermakna: pahlawan adalah orang (biasa) yang tidak egois dan berbuat sesuatu yang luar biasa. Penghormatan kepada pahlawan tidak harus selalu dilihat hasilnya. Bahkan jika gagal, kemauan kerasnya untuk berbuat suatu pada orang lain akan terus dikenang. Jadi, kebesaran seorang pahlawan tak diukur dari hasil yang dicapai, melainkan kesediaannya berkorban (menderita) untuk sesamanya.
Esai yang ditulis SBY itu mungkin merupakan hasil perenungan setelah hampir satu tahun menjadi Presiden RI. Sebagai pasangan yang dipilih langsung oleh rakyat, harapan atau mimpi SBY-JK untuk menjadi kepala pemerintahan yang efektif ternyata tidak didukung realitas politik.
Beberapa Kendala
Kekuasaan untuk menggerakkan mesin pemerintahannya amat terbatas karena beberapa alasan. Pertama, kekuatan politik SBY-JK yang hanya dipilih 67 juta dari 150 juta pemilih atau 44 persen (bukan 60 persen) menjadi tidak berarti karena parlemen didominasi partai- partai besar yangmenjadi lawan politiknya. Dengan demikian, pada pembentukan cabinet pun pasangan SBY-JK (bahkan antara SBY dan JK) harus menerima kenyataan untuk melakukan negosiasi dengan partai politik.
Karena itu, hasilnya adalah kabinet koalisi politik dari pada kabinet kerja. Bahkan ketika JK merebut Ketua Umum Partai Golkar pun pemerintahan SBY-JK belum mampu mengonsolidasikan kekuasaannya.
Alih-alih memperkuat pemerintahannya, kemenangan JK menjadi Ketua Umum Golkar dapat mengganggu kekompakan SBY-JK. Sebab, kemenangan JK dapat melahirkan beberapa implikasi politik: (1) JK merasa lebih mempunyai kekuatan nyata di parlemen dibandingkan SBY. Akibatnya, JK dapat tergoda untuk berjalan sendiri.
Itu berarti akan kian memperlemah pemerintah SBY-JK. (2) Sebagai partai pemerintah, Golkar tidak mau dijadikan pemadam kebakaran dan mendesak pemerintah untuk mendapat jumlah anggota kabinet yang proporsional dengan kekuatan di lembaga perwakilan rakyat. Jika tuntutan ditolak, tidak mustahil Golkar akan lebih baik menjadi partai opisisi.
Kedua, selama sekitar delapan bulan pemerintahan SBY-JK hanya berkutat dengan menata organisasi departemen dan personalia. Momen yang seharusnya dapat dijadikan kesempatan bagi SBY-JK memilih birokrat karier yang paling baik untuk mendukung pemerintah yang bersih dan efektif terbentur kenyataan, birokrasi yang diwarisi rezim Orde Baru masih sarat KKN. Akibatnya, para menteri mendapat kesulitan untuk memilih pejabat setingkat eselon satu yang memenuhi persyaratan ideal. Pilihan terbatas dari lingkungan birokrat yang kriterianya kurang buruk atau lebih buruk.
Kendala itu ditambah praktik balas budi pemerintah SBY-JK dengan para pendukung yang merasa berjasa saat kampanye, lalu menuntut orang-orangnya agar diakomodasi dalam pemerintahnya. Pada skala lokal, hal ini juga terjadi di beberapa daerah akibat hasil tawar menawar antara partai-partai politik dan para calon kepala daerah.
Akibatnya, pemerintah dan kabinet SBY-JK tidak didukung birokrasi yang mempunyai kemampuan mewujudkan harapan masyarakat, tetapi justru birokrasi yang menjadi beban tidak ringan bagi pasangan SBY-JK.
Ketiga, fakta lain yang membuat pemerintahan SBY-JK kian kedodoran adalah bencana alam yang melanda sebagian wilayah Indonesia, mulai gempa di Nabire (Papua), tsunami di Aceh dan Nias, serta menjalarnya penyakit polio, flu burung, dan sebagainya.
Masih ditambah harga minyak mentah, mengakibatkan pemerintah SBY-JK harus menaikkan harga BBM rata-rata dua kali lipat dari harga semula, yang justru kian mempersulit kehidupan rakyat. Karena itu, jika kebijakan menaikkan harga BBM tidak dikuti kebijakan lain yang secara struktural dapat mengurangi penderitaan rakyat, dikhawatirkan rakyat kian tidak sabar untuk mencari jalannya sendiri.
Bukan Lampu Aladin
Beberapa kenyataan obyektif itu ingin memberikan pesan kepada masyarakat, SBY-JK bukan lampu aladin yang jika digosok dapat mengubah keadaan sesuai kemauan pemiliknya. Karena itu, adalah harapan berlebihan, pemerintah SBY-JK dapat memenuhi janjinya harus disikapi lebih realistis. Ini kenyataan pahit tetapi harus dihadapi dengan sikap bijak dan optimis. Modalnya, selama lebih tujuh tahun perjalanan reformasi rakyat lebih pintar dalam memilh pemimpinnya.
Bagi SBY-JK, sisa waktu pemerintahannya harus dapat dimanfaatkan untuk menggalang dukungan di parlemen dengan mengonsolidasikan partai-partai yang bersedia memberi dukungan atas kebijakannya. Kalaupun hal itu harus dilakukan dengan perombakan kabinet, persyaratannya harus tegas dan jelas:
(1) Partai politik dan parlemen harus memberi keleluasaan kepada SBY (dan JK) memilih pengganti anggota kabinet yang mempunyai integritas dan komitmen kepada nasib rakyat. Jangan lagi memberi kesempatan, misalnya calon menteri yang jelas-jelas lebih suka berdagang atau mementingkan partainya sendiri daripada mengurus tugas pokoknya.
(2) Keleluasan SBY-JK melakukan reshuffle harus disertai pengawasan oleh parlemen, tetapi bukan karena kepentingan sempit. Jadi, sisa empat tahun pemerintahan SBY-JK, secara gradual dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 18 Oktober 2005.