WARTABUANA -Demokrasi di Indonesia bisa dibilang kebablasan. Sistem pemilihan langsung ternyata memandulkan fungsi kaderisasi yang diemban partai politik. ‘Jual beli’ kader partai jelang pemilihan umum legislatif terjadi kasat mata di pusat dan daerah.
Politisi yang memiliki nilai elektabilitas dan popularitas, biasanya menjadi incaran partai pemilik dana besar namun minim kader potensial. Sosok berlatar belakang artis menjadi satu dari beberapa tipe politisi yang diperebutkan .
Praktik transaksi ‘loncat partai’ politisi di negeri ini tidak beda dengan transfer pemain sepak bola profesional. Semua dinilai dengan uang, ada uang ada barang. Sungguh ironis.
Adanya praktek ‘bajak’ kader itu dibenarkan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Dua kader kini pindah ke Partai NasDem jelang Pileg 2019.
Politisi yang biasa disapa Bang Zul ini tidak terlalu kaget dengan kenyataan adanya bajak membajak kader dengan iming-iming uang. Menurutnya semua ini terjadi karena nilai-nilai Pancasila sudah diabaikan dalam praktik berdemokrasi.
“Ya itu risiko tarung bebas. Kalau Pancasila itu musyawarah perwakilan, ini tarung bebas. Ini lebih liberal dari asalnya sana,” kata Zulkifli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/7/2018).
Bang Zul mengakui ada dua kader PAN yang menjadi anggota DPR RI pindah ke partai besutan Surya Paloh tersebut. Satu di antaranya juga sudah diberhentikan sebagai anggota DPR. “PAN sendiri ya karena di PAW (Pergantian Antar Waktu) ada, namanya Lucky (Lucky Hakim) pindah. Tita (Indira Chunda Thita Syahrul) karena bapaknya pindah ya pindah. Ya enggak apa-apa,” ujarnya.
Ketua MPR ini berani membuka fakta adanya kader PAN yang pindah partai karena iming-iming uang miliaran rupiah karena pelakunya sendiri yang lapor. “Kalau Lucky transfer. Rp 2 miliar dari Rp 5 miliar sudah terima. Rp 5 miliar tapi baru terima Rp 2 miliar. Dia SMS ke saya. Selain karena PAW ya,” paparnya.
Menurut pria kelahiran Lampung ini, jika demokrasi kita selalu dikait-kaitkan dengan uang, maka korupsi di gedung wakil rakyat akan merajalela. Pada akhirnya Indonesia akan berada dalam kehancuran. “Pasti korupsi merajalela, tidak mungkin akan berdaulat banget. kalau semua diukur sama uang, milih juga karena uang, ya sudah jadi itu,” ucapnya.
Pernyataan Ketua Umum PAN itu ditepis Sekjen Partai NasDem Johnny G Plate yang meminta klarifikasi soal isu tersebut. “Itu kan udah berulang-ulang kali saya sampaikan itu tidak benar, itu tidak benar. Lucky Hakim juga udah membantahnya,” ujar Johnny yang tegas mengatakan partainya tidak kenal istilah mahar dalam politik.
Sementara itu, Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai NasDem, Effendi Choirie tidak menampik jika mereka yang bergerak di dunia hiburan sudah memiliki modal popularitas. Namun, popularitas belum tentu dapat mendongkrak elektabilitas.
“Ya memang tidak jaminan juga. Tapi, dibanding politisi yang baru, mereka memiliki keunggulan di popularitas,” jelas politisi yang biasa disapa Gus Choi ini.
Pria yang merintis karir politiknya di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini memaparkan, para artis yang terjun ke dunia politik harus melakukan kapitalisasi terhadap popularitasnya di masyarakat. Selama masa kampanye mereka harus turun ke masyarakat dan memberikan program serta visi misi mereka.
“Mereka juga harus dapat merangkul konstituen di dapilnya sendiri sehingga basis massa yang dimiliki jelas,” ujar anggota DPR RI 3 periode ini.
Belum Pasti
Senada dengan Gus Choi, Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Perreira mengatakan tidak serta merta artis dapat meningkatkan suara bagi partai politik. Sebab, masyarakat akan melihat siapa saja artis yang benar-benar ingin masuk ke dalam politik, dan siapa saja yang hanya menumpang nama.
“Masyarakat sudah cerdas lah. Politisi yang incumbent di dapil, bisa lebih banyak mendapatkan suara jika dibanding dengan artis tenar di dapil yang sama. Ini semua tergantung dari pendekatan si artisnya sendiri,” ungkapnya.
Nasib serupa juga dialami Partai Demokrat yang menduga ada kepentingan pragmatis terkait hengkangnya mantan petinju Chris John ke Partai Nasdem. Petinju dengan julukan The Dragon itu baru lima bulan menjadi kader Demokrat, namun saat menjadi calon anggota legislatif dia malah pilih ikut gerbong Nasdem.
“Ada narasi idealis, ada narasi pragmatis. Yang idealis, Chris John akan ngomong, tujuan dan kepentingan politiknya tidak tersalur di Demokrat. Tapi, kami duga ada narasi pragmatis. Jangan-jangan Chris John sama seperti Cristiano Ronaldo, ada transfer (dari Real Madrid) ke Juventus,” ujar Ketua DPP Demokrat Jansen Sitindaon saat wawancara di sebuah stasiun televisi swasta.
Jansen menduga, ada janji dari Nasdem untuk membiayai kampanye Chris ketika menjadi caleg. “Dugaan kami, misalnya kampanyenya nanti dibiayai,” ujarnya.
Ketika diminta tanggapan pernyataan Jansen soal “transfer”, Chris mengaku, hingga saat ini tidak ada pembahasan soal uang. “Mereka nggak bicara itu. Tapi setelah saya masuk (Nasdem), mereka langsung urus kesiapan saya untuk caleg,” ujar Chris.
Tarik menarik kader partai dan tokoh masyarakat berbalut pragmatisme juga terjadi di daerah. Tidak sedikit kader-kader potensial dari satu partai, tiba-tiba loncat ke partai lain tanpa alasan jelas. Biasanya mereka mau pindah partai karena merasa yakin tidak ditinggalkan konstituen dan iming-iming akan dijamin dana kampanyenya oleh partai yang membajaknya. []