JAKARTA, WB – Untuk kesekian kalinya Undang Undang Nomor 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diuji ke Mahkamah Konstitusi. Pasal yang diuji adalah Pasal 222 dan Pasal 226 ayat (1).
Dewan Pimpinan Nasional Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen (DPN PKPRI) menilai bahwa pengujian Pasal 222 Undang Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah bukan untuk meniadakan ambang batas pencalonan calon presiden dan calon wakil presiden menjadi 0%, melainkan untuk meningkatkan ambang batas pengajuan calon presiden dan calon wakil presiden menjadi 27 % dari jumlah kursi di DPR dan 30 % perolehan suara nasional.
DPN menilai, dasar hukum gugatan peningkatan ambang batas pencalonan capres dan cawapres menjadi 27 % jumlah kursi di DPR dan 30 % perolehan suara nasional merujuk kepada jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2014 berada pada kisaran angka 30,42% sebagaimana dirilis KPU .
“Mengapa harus dirubah persentasenya? Karena data jumlah pemilih yang tidak memilih jauh lebih besar jumlahnya dari Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya, seperti yang dirilis KPU sejumlah 30,42%,” urai Ketua Umum DPN PKPRI, Sri Sudarjo dalam diskusi terbuka `Pro Kontra Presidential Threshold` dibilangan Cikinibelum lama ini.
Sudardjo menjelaskan, Pasal 226 Angka 1, seharusnya pasal dirubah dan dinyatakan tidak mengikat Pasal 226 angka 1, bakal pasangan calon didaftarkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dan/atau Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen ke KPU dan pasangan calon yang suaranya lebih banyak ditetapkan oleh KPU sebagai pemenang secara demokratis.
Hal tersebut kata dia berbeda dengan sejumlah kelompok masyarakat yang mengajukan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 0 persen.
Sementara itu, anggota DPR RI Effendi Simbolon mengatakan Presidential threshold 20-25% parpol atau gabungan parpol guna mengajukan pasangan capres-cawapres itu sudah tepat.
“Nggak mungkin partai baru yang belum teruji, kalau gitu mending nyalon aja semua di KPU. Apa mau seperti itu kan tidak. Kita ingin demokrasi yang berciri Indonesia kalo sistem suara terbanyak ya mohon maaf orang yang punya uang saja. Ya pragmatis, saksi dibayar, bisa nggak punya yang bisa,” tuturnya.
Dilokasi yang sama, Peneliti Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai argumentasi Presiden Threshold atau ambang batas Presiden sebesar 20 persen itu bukanlah semata-mata untuk kepentingan petahana Jokowi.
Pasalnya kondisi tersebut bisa saja berbalik bila rivalnya berhasil mengalang banyak koalisi di Pilpres 2019. Di sisi lain Karyono pun mengkritisi argumentasi yang dibawa oleh sejumlah pengaju uji materi.
“Argumen yang mereka bangun pasal 222 itu bertentangan dengan Pancasila, dengan prinsip demokrasi dan menghambat proses calon presiden alternatif. Menurut saya itu gugur, dimana letak pertentangannya ? justru kalau mereka mau konsisten dengan melaksanakan nilai-nilai Pancasila mereka harus paham demokrasi yang sesuai dengan Pancasila adalah sila keempat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan artinya demokrasi musyawarah,” tutupnya.[]