JAKARTA, WB – Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, menyimpulkan bahwa elektabilitas Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden (capres) untuk Pilpres 2019, paska pelaksanaan pilkada serentak dinilai masih tertinggi dibanding calon lainnya. Elektabilitas mantan Gubernur DKI Jakarta itu naik menjadi 49,30 persen dari 46 persen pada Mei.
“Ada tren kenaikan elektabilitas Jokowi sebagai petahana setelah pilkada. Namun, sebagai petahana masih di bawah 50 persen, tidak terlalu baik,” ujar peneliti LSI Denny JA Adjie Alfaraby saat memaparkan hasil survei di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, Selasa (10/7/2018).
Survei nasional dilaksanakan setelah pergelaran Pilkada Serentak 27 Juni 2018, dari 28 Juni sampai 5 Juli. Metode yang digunakan adalah multistage random sampling dengan responden 1.200 orang. Survei memiliki margin of error kurang lebih 2,9 persen. Survei ini juga dilengkapi dengan focus group discussion, analisis media, dan wawancara mendalam.
Elektabilitas Jokowi ternyata juga tak unggul signifikan jika dibandingkan dengan total elektabilitas sejumlah tokoh yang digadang bakal maju sebagai capres, seperti Prabowo Subianto, Gatot Nurmantyo, Agus Harimurti Yudhoyono, Anies Baswedan, dan lainnya, yang total elektabilitasnya mencapai 44,7 persen atau hanya kalah 1,3 persen dari elektabilitas Jokowi.
Sementara, elektabilitas lawan Jokowi cenderung stagnan. LSI Denny JA menggabungkan elektabilitas calon lawan Jokowi. Pada Mei, elektabilitas gabungan itu 44,70 persen, sedangkan pada Juli, hanya naik menjadi 45,20 persen.
“Elektabilitas lawan Jokowi cenderung stagnan. Ini gabungan calon penantang Jokowi yang kita kumpulkan ada Prabowo, Anies, AHY, Muhaimin, dan nama lain kita uji dan hasil kita kumpulkan,” jelas Adjie.
Temuan lainnya, pemilih yang menentukan pilihannya cenderung menurun. Pada Mei, jumlah pemilih yang belum menentukan sebanyak 9,30 persen. Adapun pada Juli, turun menjadi 5,50 persen.
“Elektabilitas semua tokoh jika digabung hanya terpaut tipis dengan elektabilitas Jokowi,” kata dia.
Padahal dalam surfei LSI sebelumnya, elektabilitas Jokowi mulai goyah. Adjie juga memaparkan lima hal lain yang membuat elektabilitas Jokowi tidak aman atau goyah, dalam catatannya adalah Pertama, isu #2019gantipresiden yang dinilai sangat populer padahal baru diluncurkan sekitar satu bulan.
Dari 1200 responden, 50,8 persen di antaranya mengaku tahu soal isu tersebut. Sementara, 49,8 persen di antaranya mengaku suka dengan isu #2019gantipresiden.
“Jokowi semakin goyah karena attacking campaign tampaknya semakin masif dan terstruktur,” ucap Adjie.
Catatan kedua kata Adjie adalah, isu soal tenaga kerja asing. Adjie menyampaikan isu tenaga kerja asing sebenarnya belum diketahui secara luas oleh masyarakat, namun sebagian besar masyarakat tidak setuju tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.
Adjie menuturkan jika isu tenaga kerja asing makin meluas akan merugikan Jokowi, sebab tingginya resistensi terhadap isu tersebut.
Ketiga, ketidakpuasan ekonomi, khususnya soal lapangan pekerjaan. Adjie menyebut isu ekonomi menjadi akar masalah yang berpotensi menyulut munculnya isu lain.
Keempat, isu islam politik. Dalam isu ini, sebanyak 35,8 persen setuju agama harus terpisah dari politik. Sementara, 47,8 persen tak setuju pemisahan agama dan politik.
“Survei LSI menunjukkan Jokowi menang di segmen yang meyakini pemisahan islam dan politik, tetapi di segmen yang mendukung penyatuan islam dan politik, Jokowi kalah,” katanya.
Data itu, kata Adjie, menunjukkan bahwa Jokowi kalah populer di komunitas Islam politik yang sedang menggeliat. Isu lain adalah persepsi publik bahwa Jokowi masih lemah dan bisa dikalahkan. Survei LSI menunjukkan 32,8 persen yang menyatakan Jokowi kuat dan akan menang dan hanya terpaut tipis dengan publik yang menganggap Jokowi akan kalah yakni sebesar 28,02 persen.[]