WARTABUANA – Mappilu-PWI mengingatkan para pihak, khususnya para kepala daerah, untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan atau abuse of power menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020.
Bentuk penyalahgunaan kekuasaan itu antara lain dengan memanfaatkan pengucuran bantuan sosial kemanusiaan (politisasi bansos) terkait pandemi Virus Corona bagi korban Covid-19.
Hal itu terjadi mengingat ada 224 kepala daerah petahana yang baru 1 periode dan hampir pasti mencalonkan diri kembali.
Selain itu, Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilihan Umum (Mappilu-PWI) juga menyoroti masih adanya aparatur sipil negara (ASN) yang terlibat politik praktis dengan mendukung beberapa calon.
Demikian benang merah dalam diskusi terbatas Pilkada Serentak yang diselenggarakan Mappilu-PWI di Kantor PWI, Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (29/7/2020).
Diskusi antara lain dihadiri Ketua Umum PWI Atal S Depari, Sekjen PWI Mirza Zulhadi, Ketua Dewan Pakar Mappilu-PWI Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Ketua Mappilu-PWI Suprapto, dan beberapa pengurus PWI serta pengurus Mappilu-PWI.
“Saya kira, pers harus ikut mengawal agar Pilkada Serentak 2020 berjalan sesuai koridor hokum, mulai dari prapersiapan, persiapan, pelaksanaan, sampai penetapan pemenang. Pers sebagai pilar demokrasi keempat harus benar-benar menegakan demokrasi berjalan pada rel yang benar,” ujar Atal S Depari.
Sementara itu, Suprapto mengingatkan para petahana untuk tidak memanfaatkan beberapa kemudahan regulasi terkait penanganan Covid-19 untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
“Kita tahu bahwa dengan alasan untuk penanganan Covid-19, maka kepala daerah bisa dengan mudah mengucurkan dana. Kalau ini tidak diawasi secara ketat, maka berpotensi terjadinya penyimpangan kekuasaan,” katanya.
Sementara itu, Ferry Kurnia Rizkiyansah yang juga mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan, pertimbangan utama penyelenggara Pemilu betul-betul harus memperhatikan keselamatan dan kesehatan publik (termasuk penyelenggara). Tetapi dengan tetap memerhatikan aspek demokrasi, yaitu partisipasi publik yang luas, kontestasi yang sehat, inklusifitas, kesetaraan dan akuntabilitas.
Dengan demikian, perlu ada penegasan beberapa hal secara teknikalitas, misalnya bagi KPU dan Bawaslu, sejauh mana regulasi/aturan yg disiapkan, rasionalisasi dan penambahan anggaran pilkada di daerah.
Selain itu, sejauh mana SOP dan bimtek yang didukung protokol covid/protokol kesehatan? Dan yang penting adalah sosialisasi yang dilakukan sehingga sampai kepada masyarakat luas. Termasuk menyiapkan mitigasi dan risc assestment dengan manajemen risiko yang menyeluruh dari mulai aturan main sampai teknis di lapangan.[]