JAKARTA, WB – Serikat Petani Karawang (Sepetak) kembali berteriak terhadap ketidakadilan bangsa ini terkait sengketa lahan pertanian di tiga desa di Telukjambe Karawang yang dilakukan PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP) yang merupakan anak perusahaan Agung Podomoro Land (APLN).
Mereka menilai, perampasan lahan seluas 350 hektar ini hanya menguntungkan pihak yang memiliki banyak uang dan menindas rakyat. Sepetak pun menyebut jika perampasan tersebut merupakan bentuk tindakan “terorisme agraria”.
“Apa yang menimpa petani dan pemilik lahan di Telukjambe yang tanahnya dirampas melalui proses peradilan yang sarat rekayasa dan manipulasi hukum merupakan tindakan yang menindas dan menakutkan rakyat. Disinyalir terjadi perselingkuhan kepentingan antara pemilik modal dan aparat hukum serta oknum birokrat. Makanya kami sebut sebagai terorisme agraria,” tegas Ketua Sepetak, Hilal Tamami, kepada wartawan, Rabu (4/3/2015).
Menurutnya, dalam kasus ini sudah terjadi pertemuan antara kepentingan APLN yang ingin memiliki tanah 350 hektar dengan kepentingan aparat penegak hukum.
Hal itu terbukti dengan condongnya putusan hukum berikut tindakan aparat penegak hukum di lapangan sebagaimana PK 160 yang diproduksi oleh MA dan kebrutalan aparat Brimob saat menjalankan putusan pengadilan waktu eksekusi riil pada 24 Juni 2014 silam.
“Keberpihakan lembaga-lembaga hukum dapat ditelusuri sejak SAMP yang diakuisisi APLN, 2012 — menyajikan bukti-bukti palsu seperti Surat Pelepasan Hak (SPH) dan Peta Bidang pada persidangan gugatan rekonvensi yang berakhir dramatis karena PT. SAMP dimenangkan,”tutur Hilal.
Namun, lanjutnya, pasca putusan tersebut pihak PN Karawang tidak serta-merta langsung menindaklanjuti putusannya dengan eksekusi karena ditentang rakyat yang merasa dizalimi dan memandang putusan tersebut cacat permanen.
“Kecacatan ini terlahir dari rahim pengadilan yang sangat sarat dengan suap,” tutur dia.
Adanya Bukti Palsu SAMP/APLN
Menurut Sepetak, SAMP/APLN serta penegak hukum harus mempertanggungjawabkan putusan hukum tersebut terkait dua hal.
Pertama, bukti-bukti palsu yang disodorkan PT. SAMP sudah berada dalam penyitaan lembaga penegak hukum, yakni Kejati menyita SPH dan Kepolisian menyita Peta Bidang.
“Bahkan kepolisian sendiri sudah menetapkan Irawan Cahyadi selaku tersangka dalam kasus ini. Namun, perkaranya terhenti dengan alasan berkas perkaranya di kepolisian hilang tanpa jejak dan entah ke mana rimbanya,” tuturnya.
Kedua, sebelum PT. SAMP mencaplok tanah 350 hektar sudah lebih dulu ada sejumlah perkara yang menghadapkan masyarakat dengan PT. SAMP di pengadilan dan masyarakat keluar sebagai pemenangnya. Bahkan jauh sebelumnya pernah terbit beberapa Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas tanah 350 hektar.
“Dua hal itulah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan sosial. Sejumlah pendapat hukum mengemukakan bahwa PK 160, bersifat `unexecutable` karena putusan tersebut penuh kepalsuan,” jelasnya.
Menurut Hilal, seharusnya tugas aparat yang melindungi rakyat kecil, malah melindungi pihak yang memiliki banyak uang. Apalagi aparat justru malah membantu SAMP/APLN memenangkan perkara yang penuh kontroversi dan manipulasi ini.[]