JAKARTA, WB – Human Right Working Group (HRWG) menilai bahwa penanganan terorisme masih sangat memperihatinkan bila dilihat dari perspektif HAM, terutama dalam kasus terakhir ketika seorang terduga teroris, Siyono, diketahui meninggal setelah ditangkap oleh Densus 88. Meski ada proses penyelidikan yang dilakukan oleh Polri, namun hal ini tidak cukup menjadi alasan untuk menghilangkan nyawa seseorang, apalagi diketahui telah terjadi prosedur dalam pengawalan.
“Sayangnya, pentingnya prosedur tetap dan transparan ini justru tidak dimasukkan dalam RUU revisi yang memadai dan baik untuk menekan pelanggaran HAM, termasuk pula upaya dialog yang lebih utama dalam menyelesaikan permasalahan radikalisme dan terorisme,” kata Direktur Eksekutif HRWG Rafendi Djamin melalui press release yang diterima redaksi Wartabuana.com, Jakarta, Kamis (17/3).
Untuk itu HRWG mendesak agar Pemerintah dan DPR menghentikan rencana revisi UU Terorisme yang membuka peluang pelanggaran HAM, terutama dalam hal pemenuhan prinsip-prinsip fair trial dan larangan penyiksaan. Bukannya memperkuat mekanisme pengawasan dan prosedur penanganan, pasal-pasal revisi justru semakin membuka peluang bagi kesewenang-wenangan aparat dan penegak hukum, jauh dari prinsip penegakan hukum yang adil, akuntabel dan transparan.
HRWG mendukung upaya pemerintah untuk memberantas segala bentuk teror, bahkan harus dalam konteks perlindungan hak rasa aman setiap orang. Hanya saja, pemberantasannya tidak serta merta dapat menambrak prinsip-prinsip penegakan hukum. Sebaliknya, pemberatasan terorisme harus tetap memperhatikan rambu-rambu hak asasi manusia.
Tidak memadainya revisi dapat dilihat dari sejumlah pasal di dalam RUU, di antaranya: perpanjangan masa tahanan, tuntutan dan proses peradilan (Pasal 25 RUU), penghapusan izin penyadapan dari Pengadilan Negeri dan tidak adanya prosedur pengawasan (Pasal 31 RUU), penempatan terduga teroris di tempat tertentu (Pasal 34A) yang justru bertentangan dengan semangat penghukuman dan anti-penyiksaan, adanya potensi mengembalikan peranan TNI dalam pemberantasan terorisme (Pasal 43B) yang justru bertentangan semangat reformasi, serta pasal-pasal yang masih kabur dan memunculkan multitafsir. Kecenderungan yang ada, bukannya mekanisme kontrol dan pengawasan yang diperkuat, tapi sebaliknya mengarah pada penegakan hukum yang sewenang-wenang dan tidak transparan.
Selanjutnya, lebih dari itu, RUU ini sendiri tidak menegaskan bagaimana ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu yang berhubungan erat dengan radikalisme. Dilihat dari perspektif ini, HRWG memandang bahwa Rancangan yang diajukan sendiri belum komprehensif melihat peta permasalahan radikalisme di Indonesia. Secara konsep, UU ini hanya menyasar gunung es dari radikalisme dan intoleransi itu sendiri, tetapi tidak mencegah terjadinya “proses” radikalisasi yang semakin memperihatinkan di Indonesia.
Di level internasional, HRWG mengingatkan bahwa PBB – termasuk Pemerintah Indonesia – telah menyepakati sejumlah resolusi yang menegaskan pentingnya prinsip-prinsip HAM dalam penanganan terorisme. Pemberantasan terorisme sebagai musuh bersama tidak bisa digunakan sebagai justifikasi untuk melakukan tindakan brutal oleh penegak hukum. Sebaliknya, fair trial dan prinsip praduga tak bersalah harus dipegang teguh oleh negara. Bukannya meningkatkan prestasi, tindakan brutal aparat penegak hukum sendiri dapat merusak citra Indonesia yang sudah mendapat prediket baik dalam pemberatasan terorisme.
Selain itu HRWG mendesak DPR dan Pemerintah untuk melakukan evaluasi komprehensif terhadap penanganan terorisme selama ini, mulai dari pencegahan, deradikalisasi hingga penindakan, untuk menemukan celah pelanggaran HAM dan membuat mekanisme pengawasan yang lebih baik.
Menghentikan proses revisi UU Terorisme yang telah melampaui batas kewenangan penegak hukum yang profesional, transparan dan akuntabel. Membuat kebijakan penanganan terorisme yang sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, termasuk jaminan hak atas kebebasan bereskpresi, hak berkumpul dan berorganisasi, serta memasukkan prinsip-prinsip anti penyiksaan di dalam draft RUU Terorisme yang tengah dibahas. []