Ol;eh : J. Kristiadi
Alkisah, sekitar tahun 39 sebelum masehi, Julius Caesar memenangkan perang kolosal melawan suku Galea. Kemenangan membuat popularitasnya semakin meningkat. Kejayaan gemilang mendorongnya berniat menaklukan wilayah Italia yang di pisahkan oleh sungai Robicon. Senat kuatir kalau dia semakin berjaya popularitasnya mengancam senat. Ia memerintahkan Julius Caesar kembali ke Roma tanpa membawa pasukannya yang amat setia padanya.
Julius Caesar menghadapi pilihan politik dilematis. Pulang ke Roma, akan di adili karena perang melawan suku Galea tidak seijin Senat. Nekat melanjutkan ambisi teritorialnya, harus menyeberang sungai Robicon berarti membangkang perintah Senat.
Akhirnya, ia memutskan melanjutkan perang dengan mengatakan kalimat yang menjadi sangat terkenal hingga kini : ‘”Alea Iacta Est”. Maknanya, dadu sudah dilempar, perang harus dilanjutkn. Kisah ini berlanjut, mengakibatkan perang saudara Romawi. Julius Caesar menang dan merupakan awal Kekaisaran Romawi yang menggantikan Republik Romawi.
Legenda tersebut mirip serpihan Pidato Presiden Joko Widodo dalam Raker Projo di Magelang. Kalimatnya: “Ojo Kesusu, meskipun mungkin ada salah satu Capres (Ganjar Pranowo), ada disini”. Walaupan bernada datar disertai senyuman, ungkapan tersebut oleh banyak kalangan dianggap genderang perang terhadap para Capres.
Lebih dari itu, ia seakan menarik garis tegas dengan PDI P yang terbelah, antara kubu pendukung Puan Maharani dan Ganjar Pranowo. Persepsi publik, ia siap berhadapan dengan Megawati. Kepemihakan Presiden Joko Widodo ibaratnya dinamit politik yang dapat menggoncangkan jagad perpolitikan nasional, serta mengakibatkan hubunganya dengan Megawati mulai retak.
Dugaan publik Presiden Joko Widodo mendukung Ganjar Pranowo dapat dipahami mengingat tingkat elektabilitas Gubernur Jawa Tengah cenderung meningkat. Misalnya survei Charta Politika Juni 2022: Ganjar Pranowo, 31,2%, Prabowo, 23,4% dan Anis Baswedan, 20,%; Jajak pendapat SMRC, 10-17 Mei : Ganjar Pranowo, 30,3%, Prabowo Subianto, 27, 3% dan Anies Baswedan, 22, 6%,Tidak tahu, 19,9%.
Namun publik kecele, pidato Presiden Joko Widodo berbeda sekali dengan maklumat perangnya Julius Caesar. Pasca Pidato, Presiden Joko Widodo dan Megawati nampak semakin mesra, seperti hubungan cinta antara ibu dan puteranya.
Dalam berbagai kesempatan, misalnya pertemuan empat mata di Istana Negara sebelum pelatikan Ketua dan wakil ketua Badan Pengarah BPIP 7/5/2022 serta peresmian masjid At-Taufiq (8/6/2022); Presiden Joko Widodo kelihatan sangat menghomati Ketua Umm PDI P. Sebaliknya, Megawati sangat keibuan.
Intimasi kedua tokoh politik tersebut dalam bahasa Yunani dinamakan agape. Artinya cinta yang dilandasi hubungan ikatan batin yang sangat kuat. Cinta persaudaran, bukan sekedar persahabatan karena saling ketergantungan satu sama lain. Agape adalah bentuk tertinggi cinta manusiawi. Bukan eros, cinta yang didorong nafsu seksual.
Dalam perspektif budaya lokal (Jawa), ungkapan Presiden disebut sanepo, menghaluskaan kalimat kasar menjadi narasi bernuansa adiluhung. Konon, kultur tersebut berasal kebiasaan para pujangga keraton yang ingin menjujung tinggi nilai luhur. Maknanya hanya dipahami penuturnya sendiri atau orang yang mempunai hubungan batin yang sangat erat ( bhs Jawa “nggetih”). Model kenegarawanan kedua tokoh politik tersebut dapat dijadikan model komunilasi politik agar pertarungan politik bukan perang bubat yang saling memusnahkan.
Pemilu 2024 harus menjadi momentum membangun budaya politik yang sehat, dan karena itu memerlukan minimal dua persyaratan penting dan mendasar. Pertama, Presiden wajib taat azas kepada alasan utama, “sangkan paran” (raison d’etre) keberadaan negara Indonesia sebagaimana ditegaskan pembukaan UUD 1945. Intinya, melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesehjahteraan umum, mencerdaskan bangsa, melaksanakan perdamaian dunia. Penyimpangan terhadap alasan mendasar berarti meniadakan negara Kesatuan Republuk Indoneia.
Calon presiden wajib mempunyai kompetensi, mengelola dan mengontrol kekuasaan yang sangat besar : eksekutif, legislatif dan yudikatif yang dipercayakan rakyat kepadanya. Memilih pepimpin yang hanya mampu menghasut rakyat, menyebar kebencian, palsu dan munafik serta perilaku tidak sesuai dengan kata-katanya, akan menuntun rakyat menuju jalan sesat. Akibatnya, perilaku yang merusak peradaban menjadi kebiasaan dan dianggap normal. Dalam jangka panjang kebijakan publik dibuat diatas sendimen kelaziman (habitus ) yang semakin merusak kehidupan bersama, misalnya korupsi. []