KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjemput paksa lalu menetapkan tersangka Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy (RL) atas kasus dugaan suap pemberian persetujuan izin prinsip pembangunan cabang usaha retail di Kota Ambon tahun 2020. Dia dijerat bersama Staf Tata Usaha Pimpinan pada Pemkot Ambon Andrew Erin Hehanussa dan dan karyawan Alfamidi Kota Ambon AM.
KPK juga telah mengumpulkan berbagai informasi dan data, di antaranya bahan keterangan terkait dugaan tindak pidana korupsi, menelaah dan menganalisa, melanjutkan ke tahap penyelidikan yang kemudian ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup.
Malah KPK sebutkan dalam kurun waktu 2020, RL yang menjabat Wali Kota Ambon periode 2017-2022 memiliki kewenangan, di antaranya terkait pemberian persetujuan izin prinsip pembangunan cabang retail di Kota Ambon. Dalam proses pengurusan izin tersebut, diduga AR aktif berkomunikasi hingga melakukan pertemuan dengan RL agar proses perizinan bisa segera disetujui dan diterbitkan.
Menindaklanjuti permohonan AR ini, kemudian RL memerintahkan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Pemkot Ambon untuk segera memproses dan menerbitkan berbagai permohonan izin. Di antaranya Surat Izin Tempat Usaha (SITU), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).
Maka untuk setiap dokumen izin yang disetujui dan diterbitkan dimaksud, RL meminta agar penyerahan uang minimal Rp 25 juta menggunakan rekening bank milik Andrew Erin Hehanussa (AEH) sebagai orang kepercayaan RL. AR diduga kembali memberikan uang kepada RL sekitar Rp 500 juta yang diberikan secara bertahap melalui rekening bank milik AEH.
Sampai sedemikian seakan hanya terlihat niat untuk menyuap itu adalah inisiatif AR semata. Maka kami memberi masukan khusus kepada KPK agar menelisik tentang, pertama, siapa pemilik dan atau pemodal gerai yang dimohonkan izin tersebut. Kedua memeriksa dengan teliti terhadap pembukaan gerai secara massif itu merupakan kebijakan perusahaan atau kebijakan AR. Hal itu penting untuk ditelisik KPK sehingga tidak sia-sia upaya penegakan hukum yang dilakukannya.
Tidak salah, malah sangat baik jikalau upaya penyuapan yang terungkap itu bisa menjadi cermin perubahan bagi korporasi gerai retail apapun agar tidak melakukan hal seperti itu.
AR bukan penentu kebijakan pembukaan gerai. AR bukan pemilk gerai dan AR tidak mempunyai keharusan untuk menyuap untuk gerai yang bukan miliknya. Dia tentu memiliki pimpinan langsung di atasnya sebagai staf dari pemilik gerai tersebut.
Apalagi upaya membuka gerai retail itu adalah kebijakan korporasi. Maka KPK tidak boleh lengah dalam menyidiknya. Sesegera saja juga KPK periksa hasil kerja tim audit perusahaan gerai sebelum kejadian tersebut untuk membedah perilaku jahat itu.
Terhadap perusahaan pemilik gerai retail itu harus diperiksa dari mulai pencatatan arus kas sampai pada keputusan perusahaan terkait pembukaan gerai retail baru. Penerapan penyidikan terhadap kejahatan korporasi sangat patut untuk diterapkan agar tidak mudah modus kejahatan seperti itu terulang
Kami sedikit memberi bocoran yang sudah menjadi rahasia publik bahwa ada S yang menjadi pemrakarsa sehingga terjadi kejahatan yang dilakukan oleh RL. S itu yang sangat berkapasitas untuk bisa menggerakkan AR. Untuk menyiapkan aliran dana suap dan lainnya. Kami yakin KPK memiliki kemampuan untuk menyidik hal itu.
Masa KPK hanya mau menyentuh yang sangat kecil pada saat Kejaksaan Agung marak menyidik kejahatan korporasi? Ideal bagi KPK lebih mendalami kejahatan korporasi dalam kasus tersangka Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy atas dugaan suap pemberian persetujuan izin prinsip pembangunan cabang usaha retail di Kota Ambon tahun 2020.
Semoga KPK sudah melakukan seperti masukan dari IAW, namun publik menjadi belum tahu hanya karena tidak diumumkan saja
Penulis adalah Junisab Akbar pendiri IAW