Oleh : J. Kristiadi
Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali. Pesannya, cuma sosok bebal dapat terjerembab dua kali di gorong-gorong yang sama. Pepatah tersebut menyusup di benak bila mencermati proses kebijakan negara mendesakkan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua.
Banyak kalangan menilai kebijakan pemekaran di provinsi paling timur Indonesia terlalu terburu-buru. Agenda yang lebih penting serta urgen adalah percepatan pembangunan, meningkatkan derajat, martabat serta kesejahteraan Orang Asli Papua (OAP). Agenda ini masih menyisakan timbunan persoalan yang belum mampu di selesaikan.
Wajar masyarakat sipil tidak hanya bertanya-tanya, melainkan juga mencium aroma misteri di balik kebijakan tersebut. Nada nyaring mulai terdengar pembentukan DOB Papua bias kepentingan politik kekuasaan. Negara diduga berniat membentuk boneka-boneka pemerintahan daerah agar dapat sepenuhnya di kedalikan.
Kecurigaan tersebut sangat ironis, karena UU Otsus 21/ 2001 dan Otsus 2/ 2021 adalah manifestasi niat politik mulia negara. Keluhuran regulasi tersebut semakin otentik karena disertai pengakuan negara telah mengabaikan pembangunan dan membiarkan pelanggarakan hak-hal azasi puluhan tahun. Greget adiluhung negara menerbitkan kedua UU Otsus tersebut luar biasa. OAP mendapatkan perlakuan sangat istimewa. Hanya mereka yang dapat menjadi Gubernur Papua dan Papua barat.
Hajat tersebut cukup kosisten. UU Otsus jilid dua, negara mencoba lagi melakukan terobosan dengan membentuk Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) dipimpin Wapres (Pasal 68A UU Otsus 2022). Herannya, setelah lebih setahun terbitnya UU Otsus, badan yang menjadi jantung mengakselerasi pembangunan Papua belum juga terbentuk. Niat mulia negara tidak disertai kadar kepekaan yang tinggi. Semestinya pejabat yang bertanggung jawab segera menindak lanjuti dengan serius, tekun, dan focus; serta gairah membara mewujudkan slogan klasik: pendekatan pembangun Papua wajib dilakukan dengan merebut hati dan pikiran OAP.
Namun ironinya, terobosan percepatan pembangunan dilakukan membentuk DOB. Kesannya, negara tidak belajar pengalaman getir dan traumatik tahun-tahun sebelumnya. Sejak 1999-2014 80% daerah otonomi baru gagal karena tanpa persiapan matang. Repon kebijakan negara sangat tepat, sejak 2014 pemekaran di moratoriumkan; namun prakteknya membiarkan pemekaran tanpa perencanaan matang sehingga membuahkan tragedi.
Kebijakan pembentukan DOB Papua ibaratnya membangunkan macan tidur. Antrean panjang wilayah yang ingin mekar jumlahnya ratusan, bahkan di Papua dan Papua Barat puluhan wilayah menginginkan pemekaran. Meledaknya kotak Pandora hanya menuggu waktu. Indonesia akan mirip amuba, membelah diri terus hingga mati.
Bayang-bayang ancaman kegagalan DOB Papua berdengung dalam Webinar yang di selenggarakan Staf Khusus Wapres bekerja sama dengan Institut Otonomi Daerah (iOtda) 28/7/2022.Temanya, memitigasi pasca pembentukan DOB Papua. Pertama, DOB Papua tidak berkiblat kepada kerangka besar penataan daerah. DOB seharusnya merupakan bagian integral strategi disain besar pembenahan daerah. Antara lain meliputi pembentukan daerah, penyesuaian daerah serta penggabungan daerah. Kesemenyeluruhan (comprehehensivenes) pemahanan ini sangat penting, mengingat setiap daerah pemekaran baru perlu di monitor, evaluasi dan di berikan batas waktu tertentu. Bila sampai tenggat waktu percobaan lewat dan kinerjanya tidak sesuai target, DOB harus bergabung kembali dengan daerah induknya.
Kedua, kegagalan Otsus jilid pertama masih meninggalkan berjubel banyak masalah yang kompleks dan rumit, dan karena itu memerlukan konsentrasi tinggi dan niat kuat untuk dapat mengatasinya.
Ketiga, resistensi OAP sangat massif dan beragam. Selain prakarsa MRP menuntut pembatalan DOB kepada Mahkamah Konstitusi; aksi penolakan tersebar di berbagai daerah, antara kota Jayapura, Wamena, Paniai serta Yahukimo yang menelan korban jiwa. Perebutan ibu kota provinsi Papua Tengah antara Bupati Mimika dengan Bupati Nabire ikut memperkeruh suasana. Konflik semacam ini mudah memicu konflik horizontal yang akan merajah rajutan masyarakat papua.
Catatan keras publik terhadap DOB Papua semoga tidak teggelam dalam hiruk pikuk Pemilu 2024. Inkonsisten yang konsisten negara menyusun kebijakan pembangunan Papua hanya akan mengubur niat luhur negara dan memupus harapan OAP hidup bahagia. Semoga ekses keterlanjuran pembentukan DOB Papua dapat di kendalikan melalui upaya ekstra keras mempercepat pembangunan OAP. []