Oleh : J. Kristiadi
Festival merayakan kedaulatan rakyat memilih Capres dan Cawapres yang akan menjadi nakhoda 5 tahun menuju Indonesia Emas 2045 tinggal satu setengah tahun lagi (Februari 2024). Tetapi panggung politik hanya disuguhi adegan para aktor politik bereseliweran mematut diri bermain drama berseri menyusun koalisi. Komidi sarat simulakra telah dimulai sejak beberapa bulan lalu, diperkirakan baru akan berakhir setelah tahap panetapan Capres dan Cawapres Oktober 2023
Mimbar politik seharusnya menjadi wahana pertarungan kualitas gagasan memperdebatkan ide-ide segar sehingga menghasilkan sintesa yang dapat menjadi agenda lima tahun Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Banyak sekali pekerjaan rumah penting memerlukan pemikiran, wawasan yang luas serta mendalam, agar pemerintah baru mempunyai pedoman serta membuat terobosan menghadapi persoalan global dan nasional yang rumit dan akut. Misalnya, dinamika geopolitik sulit diantisipasi serta persaingan global semakin sengit. Di dalam negeri,dua persoalan akut, kemiskinnan dan pengangguran perlu pintasan agar segera dapat diselesaikan.
Isyu-isyu tersebut harus menjadi substansi negosiasi bagi para Capres dan Cawapres dalam membentuk koalisi. Sehingga rakyat tahu koalisi bukan sekedar aliansi taktis bertujuan maksimalkan kemenangan, tetapi persekutuan strategis untuk memajukan kesejahteraan rakyat.
Agenda penting lain, penataan manajemen kekuasaan carut marut akibat regulasi yang simpang siur dan tumpang tindih sehingga benturan sektoral sangat sering terjadi. Resepnya, menata ulang semua regulasi berkaitan dengan manajemen kekuasaan negara. Perangkat regulasi harus disusun lebih komprehensif, kohesif dan terintegratif sehingga peraturan perundangan tidak berbenturan dan bertindihan satu sama lain.
Program ini penting sekali karena menjadi modal awal mengurai kekusutan tata pemerintahan serta membangun dan memperkuat lembaga negara serta pemerintahan. Tanpa agenda tersebut institusi-intiusi tersebut semakin membusuk dan demokrasi bertambah keropos.
Diharapkan penataan kekuasaan negara menyeluruh menghasilkan kualitas kebijakan publik lebih bermutu dan pemerintahan lebih solid. Sehingga pemerintah tidak perlu menerbitkan kebijakan adhoc yang mengakibatkan rakyat bingung dan dirugikan serta dapat memicu kerusuhaan.
Misalnya, kebijakan larangan ekspor CPO dan minyak goreng serta ketergesaan membuat regulasi tentang Daerah Otonomi Baru (DOB) menyulut kontroversi di Papua, bahkan menimbulkan kerusuhan di daerah. Ilustrasi tersebut hanya pucuk gunung es kesemrawutan peraturan perundangan ditingkat pusat, terlebih di daerah.
Tanpa politik perundang-udangan yang jelas serta upaya serius, anarki penyusunan regulasi dikhawatirkan mengakibatkan akumulasi perundang-undangan dapat melumpuhkan pemerintahan. Konsekuensinya, rakyat membuat aturan sendiri sesusai selera masing-masing. Persoalan menjadi genting kalau peraturan amatir di tumpangi politik identitas.
Gejolak nafsu bertahhta di singgasana kepresidenan membuat mata hatinya buta. Mereka lupa kedigdayaan mampu melakukan tawar menawar membentuk koalisi, asal usulnya adalah kepercayaan rakyat memberikan mandat, kepercayaan dan kehormatan. Sebelum menjadi pajabat publik, mereka “mengemis” rakyat agar masyarakat memberikan dukungan. Tanpa mandat rakyat mereka tidak mempunyai kuasa melakukan negosiasi politik.
Namun tragisnya, setelah otoritas diperoleh mereka hampir tidak pernah melakukan konsultasi publik dengan intens tentang isyu-isyu yang akan dijadikan kebijakan publik atau regulasi. Pengalaman selama ini para politisi yang akan menjadi kandidat pejabat publik hanya membuat visi dan misi sebagai persyaratan admnistrasi dan asesori politik. Secarik kertas tanpa makna.
Idealnya, visi dan misi merupakan kegandrungan dorongan rasa empati dan keprihatian mendalam untuk mewujudkan masyakat Indonesia sejahtera. Mereka terpanggil melaksakana janjinya dengan antusias sepenuh hati serta dedikasi tinggi.
Rakyat berhak tahu isyu penting yang bicarakan dalam membentuk koalisi. Misalnya, validitas rumor semakin nyaring tentang rencana salah satu Capres, bila menang akan menghentikan pembangunan IKN dan memperlambat pembangunan infrastruktur karena negara tidak punya dana. Alasan yang sangat simplistis.
Kalau sinyalemen tersebut valid, membenarkan tradisi terkutuk pergantian pejabat, berganti pula kebijakannya; sebaik apapun program bagi rakyat. Kualitas penguasa semacam itu sejak menduduki jabatan benaknya hanya disesaki siasat agar pemilihan berikutnya dapat dipilih lagi. Ia pasti tidak pernah memikirkan kesejahteraan rakyat, karena endapan bawah sadarnya ingin melanggengkan kekuasaan yang di cengkeramnya. []