Oleh : J Kristiadi
Alkisah, pada tahun 1666 terjadi peristiwa mengerikan di kota London, karena diserang wabah dan kebakaran besar sehingga puluhan ribu orang meninggal dunia. John Dryden, politisi cum penyair, memperingati tragedi tersebut dengan membuat puisi tahun 1667 berjudul Annus Mirabilis, tahun yang menggembirakan; karena ia yakin dan optimis malapetaka tersebut dapat diatasi. Selaian, itu judulnya sengaja berlawanan dengan peristiwa yang memilukan agar masyarakat tidak gelisah dan putus asa.
Pageblug Covid-19 telah berjalan hampir dua tahun, secara bertahap Pemerintah mulai dapat mengendalikan berkat dukungan seluruh komponen masyarakat. Keberhasilan tersebut, walaupun masih di tingkat tengah perjalanan, namun bayang-bayang terbitnya tahun yang menggembirakan, Annus Hirabilis, samar -samar mulai nampak.
Kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang diberlakukan sejak beberapa bulan terakhir telah mampu mengontrol virulensi sehingga mulai Rabu, 22/9/ 2021, seluruh Kabupaten /kota Jawa-Bali dinyatakan tidak terdapat lagi level 4 (Kompas.com, 21/9/2021).
Namun keberhasilan tersebut masih separo jalan dan memerlukan perjuangan keras agar masyarakat benar-benar mematuhi protokol kesehatan. Kesadaran publik merupakan faktor yang amat penting, mengingat banyak kajian medis yang menyatakan covid-19 tidak dapat dihilangkan, umat manusia harus hidup bersahabat dengan virus corona.
Kesuksesan setengah jalan ibaratnya pedang bermata dua. Mata pisau yang satu membuat sektor ekonomi pelan-pelan mulai menggeliat dan optimisme publik semakin meningkat. Bagian tajam lainnya, kegelisahan publik tentang masa depan konsistensi kepemimpinan nasional berkaitan dengan Pemilu 2024.
Masyarakat sangat mendambakan kepemimpinan pasca Pemilu yang akan datang mampu mengendalikan pandemi: tegas, konsisten, memiliki kompetensi dan stamina prima membuat kebijakan yang dilematis serta ketidak pastian jangka panjang, sembari membenahi dan mereformasi birokrasi serta lembaga-lembaga pemerintahan lainnya.
Kegamangan publik memicu beberapa kalangan menggagas perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo. Dalam perspektif pragmatisme politik, ide tersebut dapat difahami. Namun pengalaman berbagai negara yang mengalami krisis dan memilih pemimpin lewat jalan pintas dan mengabaikan suara rakyat, tokoh tersebut akan terjerumus dalam kubangan nikmat kuasa yang tanpa batas. Dapat dipastikan proses akumulasi kekuasaan semakin membengkak dan kaum opotunis yang lapar kekuasaan akan mengepung sang penguasa.
Tokoh yang semula dianggap “juru selamat bangsa” menjadi juru mudi menuju kiamat rakyat. Pengalaman Presiden Sukarno, Bapak bangsa dan Presiden Suharto, tokoh sentral yang mampu menumpas prahara pembrontakan G 30 S/PKI, harus turun dari jabatan dengan “tragis”. Nampaknya Presiden Joko Widodo menyadari akibat buruk pragmatisme politik dan secara tegas dan konsisten menolak dengan keras gagasan tersebut.
Selain bayang-bayang terbitnya tahun yang menggembirakan, bulan September sebaiknya juga perlu merenungi “perang saudara” akibat pembrontakan G 30 S/ PKI. Tragedi kemanusiaan akibat pertarungan keras ideologi membuat masyarakat tersekat-sekat fanatisme buta yang memancarkan energi gelap dengan daya rusak yang menakjubkan.
Jumlah korban meninggal tidak diketahui dengan pasti, beberapa kalangan menyebut ratusan ribu sampai jutaan orang. Tetapi angka yang dianggap valid antara 300 sampai 500 ribu jiwa. Tahun 1965, menjadi tahun yang sangat mengerikan, Annus Horibilis. Tragisnya, rejim Orde baru selama puluhan tahun merawat peristiwa yang sangat mengerikan itu dengan rajin memutar filem “Pengkhianatan 30 S/ PKI” setiap menjelang 30 September.
Memori kolektif tersebut perlu dikenang bukan untuk mengingatkan kepedihan kelam masa lalu, melainkan untuk dipetik pelajarannya agar tragedi tersebut tidak terjadi di masa yang akan datang. Sebab, menjelang Pilpres 2019, para petualang politik mencoba membangkitkan kebencian terhadap kelompok tertentu dengan memutar filem “Pengkhianatan 30 S/ PKI”; serta dibumbui retorika bernuansa kebencian dan menebarkan kegelisahan seakan gerakan komunisme ancaman nyata di depan mata. Pada hal kekuatan politik Komunisme-Marxisme sudah luluh lantak.
Rezim politik yang pernah berjaya puluhan tahun, sejak akhir tahun 1980-an, kocar-kacir di Eropa Timur, Polandia, Bulgaria, Jerman Timur, Cekoslovakia dan Rumania, bahkan Pakta Warzawa bubar. Tahun 1991 Uni Sovyet, negara adikuasa porak peranda menjadi 14 negara. Sebagai doktrin Pergerakan Marxisme-Komunisme sudah apkir, lapuk dan usai (cutel); namun sebagai filsafat pemikiran tetap eksis meskipun kehilangan relevansi dan validitasnya.
Beberapa kalangan berpendapat gempuran jitu abad 20 yang mengakibatkan ajalnya komunisme internasional, dipicu runtuhnya Partai Komunis Indonesia September 1965, dilanjutkan kemunduran kekuatan gerakan komunisme di Vietnam tahun 1975.
Memorabilia, ingatan terhadap sesuatu, baik yang menyenangkan maupun yang memenyedihkan, perlu dikenang agar dapat menuntun dalam meniti kehidupan ke depan yang lebih baik. Perjuangan politik sering diibaratkan sebagai perjuangan ingatan melawan lupa sebagaimana wanti-wanti Milan Kundera: “The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting. Ingatan yang membuat pikiran waras disertai kerja keras, bangsa Indonesia pantas berharap menyongsong terbitnya tahun yang mengembirakan, Annus Horibilis, segera menyingsing
Jakarta, 22 September 2021