Oleh: Reifa Qisthi Mitsaliyandito
Berdasarkan data hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015, pada tahun 2018 penduduk anak di Indonesia mencapai sekitar 30,1 persen dari total penduduk Indonesia atau sebesar 79,5 juta orang. Jumlah tersebut menjadikan Indonesia negara dengan populasi anak terbesar ke-empat di dunia. Tidak seperti kebanyakan negara di dunia yang saat ini tengah dan sebagian menuju ke fase aging, pada 2030-2040 Indonesia diprediksi menyambut bonus demografi dengan penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa. Hal ini dikenal dengan istilah bonus demografi karena dominasi jumlah penduduk berusia produktif akan mendorong produktivitas perekonomian yang pada hasilnya dapat menekan rasio ketergantungan penduduk.
Bonus demografi bukan sebuah keniscayaan yang dapat dicapai dengan menggunakan sistem autopilot. Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) menyatakan bahwa bonus demografi tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal apabila tidak tercipta investasi yang menunjang penciptaan lapangan kerja, tata kelola pemerintahan yang baik, infrastruktur yang mumpuni, iklim bisnis yang mendukung, hingga salah satu yang paling penting yaitu peningkatan partisipasi kerja wanita. Bahkan jika semua aspek tersebut dapat terpenuhi, bonus demografi juga masih akan terhambat pemanfaatannya apabila kualitas sumber daya manusia-nya (SDM) tidak mampu mengejar dinamika pasar tenaga kerja yang kian melesat. Sebagaimana telah mahsyur disampaikan dalam teori pertumbuhan neo klasik, SDM merupakan salah satu input terpenting dalam sebuah proses produksi.
Kualitas sumber daya manusia tidak dapat diidentifikasi hanya dengan menggunakan satu atau dua dimensi perhitungan. Pada 2018 lalu, Bank Dunia meluncurkan sebuah pendekatan baru untuk mengidentifikasi kualitas sumber daya manusia yang disebut indeks modal manusia (Human Capital Indeks/HCI). Indeks tersebut mengestimasi potensi produktivitas seorang manusia berdasarkan akumulasi pengetahuan, keterampilan, kesehatan dan ketahanan yang terjadi di sepanjang hidup. Berdasarkan release Bank Dunia tersebut, skor HCI Indonesia hanya sebesar 0,53, yang artinya bahwa pekerja Indonesia pada generasi mendatang hanya akan memiliki produktivitas sebesar 53% dari potensi penuhnya bila semua semua komponen ideal.
HCI mengukur modal manusia yang dapat diperoleh seorang anak yang lahir hari ini pada usia 18 tahun. Komponen perhitungan dalam HCI diantaranya probability of survival to age 5, harmonized test score, adult survival rate, stunting, dan learing adjusted. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Badan Kebijakan Fiskal mengenai persiapan implementasi HCI di Indonesia, disampaikan bahwa faktor pendidikan dan kesehatan sangat berpengaruh terhadap kapabilitas dan kualitas penduduk untuk bersaing dalam kompetisi bursa kerja dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dalam penelitian itu, disebutkan juga bahwa keterbatasan kemampuan ekonomi bukan faktor kunci penyebab rendahnya pencapaian modal manusia. Selain tingkat kepentingan sarana dan pra-sarana yang definit, kesadaran dan pengetahuan yang memadai dari calon dan para orang tua yang hidup di masa sekarang juga sangat mempengaruhi tingkat pendidikan dan kesehatan seorang anak.
Dukungan yang diberikan orang tua kepada anak dalam bentuk afeksi, yang dikombinasikan dengan bentuk dukungan lain seperti input verbal serta upaya-upaya untuk memperluas minat anak, terbukti memiliki pengaruh positif terhadap pembentukan tingkat kognitif anak (Landry, 2014). Dalam sebuah penelitian lain disebutkan bahwa lama waktu bekerja seorang ayah dan seorang ibu memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kognitif anak (Gamellia, Wongkaren, 2019). Hsin & Felfe (2018) juga menyatakan hal senada, namun hal tersebut hanya terjadi pada kasus seorang ibu dengan tingkat pendidikan menengah. Sementara untuk ibu dengan tingkat pendidikan tinggi (proxy dari tingkat intelegensi dan kesiapan mental seorang wanita untuk menjadi ibu), jumlah jam kerja tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan kognitif anak. Berdasarkan hasil ini, dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi wanita dalam pasar tenaga kerja bukanlah ancaman terhadap tumbuh kembang anak, dengan catatan wanita tersebut memiliki tingkat intelegensi dan kesiapan yang memadai.
Bagaimana dari sisi kesehatan? Disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Kedokteran UI yang juga menjabat sebagai Menteri Kesehatan pada era Kabinet Kerja Presiden Jokowi, Nila Moeloek, bahwa terdapat beberapa permasalahan yang menjadi faktor rendahnya tingkat HCI Indonesia, diantaranya: status kesehatan ibu dan anak; kesehatan reproduksi yang belum menggembirakan; permasalahan gizi, terutama stunting; masih tingginya penyakit menular dan tidak menular; serta belum meratanya akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Dari permasalahan-permasalahan yang dipaparkan, lagi-lagi peran orang tua terbukti sangat sentral dalam proses tumbuh-kembang anak.
Dari sisi pemerintah, sebagaimana dikutip dari KEM PPKF, pemerintah telah melakukan pemenuhan mandatory anggaran pendidikan 20 persen dari APBN sejak tahun 2009, sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi. Secara nominal anggaran pendidikan tersebut mengalami tren yang meningkat seiring dengan peningkatan APBN. Porsi terbesar dari mandatory anggaran pendidikan tersebut dialokasikan melalui transfer ke daerah seiring dengan kebijakan pengalihan wewenang pengelolaan pendidikan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Anggaran kesehatan dengan mandatory spending sebesar minimal 5 persen APBN yang dialokasikan melalui TKDD terus meningkat, dan dalam periode tahun 2015-2020 peningkatan rata-rata tiap tahun sebesar 42,9 persen. Di samping itu, terdapat mandatory spending APBD untuk mengalokasikan anggaran kesehatan minimal 10 persen yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan di daerah, meskipun belum semua daerah dapat memenuhi mandatory tersebut.
Meskipun fakta-fakta penelitian yang disampaikan dapat diperdebatkan metode maupun implementasinya, satu hal yang pasti, orang tua sebagai pemegang kendali perkembangan anak dari mulai 1000 hari pertama kehidupan hingga tidak dikategorikan usia anak perlu memiliki pengetahuan dan perencanaan yang matang sebelum akhirnya memutuskan untuk membangun sebuah rumah tangga. Alih-alih membuat rumah tangga yang konstruktif, kenyataan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang tidak siap memiliki kecenderungan untuk berdaya saing rendah di masa mendatang, tidak dapat terelakkan. Tulisan ini tentu bukanlah sebuah antitesis terhadap narasi pro-marriage. Diskusi ini justru diharapkan dapat menggaungkan pentingnya kehadiran generasi mendatang bagi pembangunan ekonomi Indonesia yang tentu memerlukan persiapan yang matang dan serius untuk menyambutnya. []